Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Jumat, 19 Juli 2013

Free Domain

Kunjungi Juga Holding Website Subandi Rianto mengenai analisis, gagasan, peluang bisnis, beasiswa pendidikan etc hanya di:

Jumat, 03 Februari 2012

Anyer-Panarukan: Dekapan Kolonial dalam Ekonomi dan Budaya Pantai Utara Jawa

Saat Daendels memerintahkan pembangunan jalan melewati punggung bukit di daerah Sumedang-Jawa Barat. Bupati Sumedang, Kusumahdinata (Pangeran Kornell) melawan perintah itu dan mengakibatkan Daendels marah besar. Saat inspeksi mendadak ke Sumedang. Ternyata Bupati

Jumat, 06 Mei 2011

MATERI WORKHSOP FOTOGRAFI MATAKULIAH SEJARAH PERKOTAAN

MATERI WORKHSOP FOTOGRAFI MATAKULIAH SEJARAH PERKOTAAN
Download di link ini :
">DIKTAT WORHSOP FOTOGRAFI SEJ. PERKOTAAN





Rabu, 20 April 2011

Historiografi Sejarah dalam Gaya Penulisan Ibnu Khaldun: Sebuah Tinjauan Historis

Oleh: Subandi Rianto

Abstrak
Ibnu Khaldun sebagai salah seorang historiograf modern meletakkan dasar-dasar ilmu sosiologi modern sebagai ilmu bantu Ilmu Sejarah (Penulisan Sejarah). Dimana dasar-dasar tersebut dihasilkan dari analisisnya terhadap peristiwa-peristiwa sejarah pada umat manusia terdahulu. Ibnu Khaldun menganalisis masyarakat dengan penekanan pada perubahan sosial antar individu yang mempengaruhi perkembangan masyarakat tersebut. Sumbangan terbesar Ibnu Khaldun dalam gaya penulisan sejarah strukturalis dan multidisiplin memberikan afiliasi yang kuat akan terbentuknya sintesa-sintesa ilmu lainnya.
Keyword: ibnu khaldun, historiografi, sosiologi modern.

STUDI PATRONASE DI SULAWESI SELATAN Sebuah telaah terhadap buku “Minawang: Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan” Karya Drs. Heddy Shri Ahimsa Pu

Sebuah Pengantar
Budaya Patronase atau Patron-Klien merupakan sebuah ciri khas dari mozaik kebudayaan di Nusantara. Hampir sebagian besar kebudayaan yang mendiami Kepulauan Nusantara memiliki budaya patron-klien, beberapa contohnya adalah Jawa dan Sulawesi Selatan. Dimana budaya ini bersifat emosional dan berkelanjutan. Budaya Patron-Klien telah diteliti bertahun-tahun oleh para antropolog dan menghasilkan pengertian sebagai berikut:

Sejarah Melayu dalam Narasi Naskah-Naskah Melayu Kuno: Sebuah Tinjauan Mengenai Situs Kerajaan-Kerajaan Islam di Melayu-Sumatra (Kerajaan Melayu, Ace

Oleh: Subandi Rianto

Abstrak
Sejarah Melayu merupakan proses narasi dari sebuah kepulauan panjang yang terbentang antara Semenanjung Malaya (Thailand, Kamboja hingga Malaysia) sampai ujung selatan pulau Sumatra (Swarna Dwipa). Mayoritas sejarah Melayu ditulis untuk mengabadikan kebesaran raja-raja Melayu yang menguasai dua buah semenanjung tersebut. hampir sebagian besar pula naskah-naskah yang menceritakan sejarah melayu ditulis pada masa masuknya Islam ke Nusantara. Naskah-naskah tersebut ditulis menggunakan aksara arab melayu dan berbahasa arab. Ini merupakan sumber sejarah yang terpenting dalam menelusuri akan masuknya Islam ke nusantara melalui jalur berkembangnya kerajaan-kerajaan kecil di semenanjung Malaya.

Sejarah Asia Tenggara: sebuah review atas buku karya Prof. Anthony Reid dan Prof. M.C. Riklefs.

Oleh: Subandi Rianto*
Mahasiswa Ilmu Sejarah Univ. Airlangga 2009

Berbicara mengenai sejarah Asia Tenggara, mengutip kata Prof. Taufik Abdullah, APU. Sejarawan LIPI. Tidak afdol jika tidak membahas mengenai sejarah Asia Tenggara tempo klasik. Tidak afdol juga jika tidak menyertakan seorang arkeolog besar asal Prancis, George Coedes (1913) yang berhasil “menemukan” sisa-sisa peradaban besar Kerajaan Besar Sriwijaya. Melalui empat buah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan. Coedes berhasil merekonstruksi kembali sisa-sisa peradaban klasik Asia Tenggara yang meliputi Sumatera (Sriwijaya) dan Indo-Cina (Angkor-Kamboja).

Proses Pembentukan dan Pergeseran Arti Kota di Indonesia: Sebuah review atas BAB Sejarah Kota Buku “metodologi Sejarah”

Oleh: Subandi Rianto

Proses pembentukan kota tidak lepas dari segala aktivis manusia. Selain didahului dengan segala aktivitas dari daerah pedesaan. Kota menjadi “pusat baru” dari segala pergeseran kegiatan di desa. Mulai dari aktivitas politik, perlawanan kolonial dan geliat ekonomi. Secara lugas, arus perpindahan aktivitas manusia dari desa ke daerah baru (kota) membawa perubahan besar bagi pergerakan nasional. Selain berpindah aktivitas, manusia juga membangun “peradaban” yang didasarkan pada aktivitas ekonomi, politik serta kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa karakter masyarakat kota bisa jadi berasal dari residu budaya desa. Atau menjadi sebuah karakter baru hasil dari campuran. Studi kasus pada kota-kota pedalaman yang masih mewarisi budaya masyarakat desa. Dimana kepercayaan mistik-kuno masih menjadi bagian sehari-hari. Masyarakatnya masih mempercayai kekuatan roh-roh halus, dukun dan tokoh spiritual lainnya. Contohnya, bisa dilihat dari segala birokrat saat itu yang percaya akan sebuah wangsit, wahyu atau amanah dari langit. Dimana secara pola pikir hal-hal tersebut merupakan karakter masyarakat desa.

Keistimewaan Jogja dalam Analisa Sejarah dan Filsafat

Oleh: Subandi Rianto

“Menjelaskan sebuah konsep tata kenegaraan dan tata pemerintahan, maka perlu dipertimbangkan sebuah fakta historis dan sosiologis daerah tersebut”. Demikian pendapat beberapa sejarawan, termasuk Aswi Warman Adam ketika menanggapi masalah kesistimewaan Jogja. Beliau lebih menekankan bahwa Jogja mendapat predikat “istimewa” bukan semata-mata untuk “dilebihkan” atas provinsi lain. Melainkan sebuah penghargaan atas perjuangan masyarakat Jogja yang mendukung republik Indonesia pada masa kolonial Belanda. Terlebih pengorbanan besar Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Heterogenisasi Etnis Masyarakat Islam di Nusantara Era Abad 15-19 M.

Oleh: Subandi Rianto

Periodisasi masuknya Islam ke kepulauan nusantara hingga kini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Prof. Riklefs bahkan menggarisbawahi bahwa masa-masa tersebut merupakan wilayah “abu-abu” dalam sejarah Indonesia. Sepotong puzzle sejarah yang tidak jelas secara waktu dan spasial. Jika kalangan sejarawan barat seperti Hurgronje berpendapat pada abad 13 M dengan patokan utama pada nisan Sultan Malik As-Salih. Maka, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara membantah dengan tegas. Beliau lebih menyetujui pendapat T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam yang menulis bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7 M. Perdebatan demi perdebatan tidak sebatas pada apa yang disebut dengan “massa” atau waktu kedatangan Islam di nusantara. Tetapi juga melebar pada asal muasal Islam datang. Ada beragam teori yang menjelaskan darimana Islam nusantara berasal. Salah satunya Prof. Slamet Muljana yang mencetuskan teori bahwa Islam berasal dari muslim-muslim China. Tesis Prof. Slamet Muljana kebanyakan berlandaskan ada arsip-arsip di Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Hingga tesis tersebut berkesimpulan bahwa ada beberapa walisongo yang keturunan dari China.

Asia Tenggara dalam Masa Pembentukan Negara-Negara Baru Review atas essay “Southeast Asian Nations in a New World Order”

Oleh: Subandi Rianto, Ilmu Sejarah 2009

Sebuah Pengantar.
Awal September 1939, ketika Eropa bergoncang karena perang dunia II. Asia, seperti halnya Eropa dengan cepat berubah menjadi zona pertempuran yang sama. Saat Jepang bergabung dalam poros fasis Jerman-Italia. Sebelumnya, Jepang berhasil mengalahkan Rusia dalam berbagai pertempuran di laut sebelah utara dalam masalah “Politik Air Hangat”. Mereka kemudian mengobrak-abrik kawasan Asia. Setelah menyerang Manchuria-China dalam pertempuran berdarah. Jepang kemudian melirik wilayah Asia Tenggara. Selain dinilai penuh dengan sumber daya alam. Asia Tenggara dinilai sebagai batu loncatan dalam menghambat pasukan Amerika dari Hawai. Jepang akhirnya masuk ke Indonesia dengan mula-mula menyerbu Tarakan-Kalimantan Timur.

Rabu, 24 November 2010

DAKWAH tanpa KOMA

Oleh: Subandi Rianto

Kader semakin menurun kualitasnya! kader semakin sedikit jumlahnya! kader semakin sulit dicari!, suara-suara mengkhawatirkan dari sudut-sudut gerak dakwah almamater kita semakin menambah suram masa depan dakwah di kampus Universitas Airlangga. Tak bisa dipungkiri lagi, ketimpangan jumlah kader antara satu fakultas dengan fakultas lain menjadi corak permasalahan yang bisa menjadi gunung es. Pasalnya kebijakan fakultas yang “kelebihan” kader semakin mencerminkan gerakan dakwah yang sempurna. Sementara fakultas yang “minus” kader semakin tertatih-tatih dengan medan yang sangat terjal. Kondisi dakwahnya sangat jauh dari yang diharapkan. Kader sedikit, kualitasnya kurang serta sederet permasalahan lainnya.

Fenonema ini sudah menggejala hampir kurun waktu setahun, disaat-saat semakin meranggasnya rasa “nasionalisme” pada organisasi dakwah. Mahasiswa semakin apatis dengan yang namanya LDK. Perlu proses panjang penulis menemukan “inti” dari benang ruwet komunikasi antara fakultas dan pusat yang semakin tidak sinkron. Beberapa senior di fakultas berungkali berdiskusi dengan kader lainnya bagaimana menemukan format yang tepat dalam menjalankan dakwah di ranah fakultas. Hampir setiap kali juga, diskusi selalu mengambang karena terbentur dengan kurikulum yang telah digariskan oleh pusat. Entah semakin sedikitnya peserta PDK di fakultas menjadi barometer semakin susahnya pusat memahami keinginan daerah. Apa yang diingankan fakultas terhadap kebijakan pusat? Intinya hanya satu, bahwa pusat memahami dan menyerahkan otonomi dakwah kepada daerah (fakultas) agar mereka merancang strategi dakwahnya sesuai dengan medan.

Kesempatan otonomi ini sangat dinantikan fakultas untuk menggeber kembali semangat juang kadernya. Semangat juang untuk memahami medan dakwah fakultas masing-masing. Fakultas hanya meminta agar kebijakan dakwah untuk setiap fakultas tidak sama. Manakala disamakan, maka hal tersebut akan menimbulkan riak-riak kecil permasalahan di tingkat fakultas. Seperti contoh standardisasi bagi peserta PDK I dengan sederet kurikulum “mengerikan” dari pusat, akan membawa degradasi kader di tingkat fakultas. Peserta PDK akan semakin sedikit karena ketakutan dengan sederet prasyarat yang ada. Bayangkan, masak mahasiswa baru sudah harus hafal al-ma’tsurat, juz amma! Bayangkan masak mahasiwa baru sudah mengenal apa itu urgensi dakwah! Apa itu manhaj! Apa itu marhalah siyasi!. Entah, akhirnya mahasiswa berpikir bahwa LDK dan LDF adalah sebuah pesantren yang mewajibkan santr-santrinya harus hafal ini itu. LDK dan LDF semakin jauh dari citra tempat bertaubat. Hanya satu tempat bertaubat, yaitu masjid atau tempat ibadah lainnya… silakan cari saja gereja!.

Dua tahun yang lalu, seorang senior memberitahu penulis bahwa tujuan orang masuk LDK/LDF sudah berubah. Dulunya mereka beranggapan bahwa LDK/LDF adalah tempat mencari ketenangan, tempat mencari pertaubatan dan tenpat menjalin ukhuwah. Makanya, setiap open recruitmen badan semi otonom yang paling banyak memperoleh anggota hanya LDF. Itu cerita lama yang bertumpuk di pikiran para pendahulu dakwah kampus kita. Sekarang? Jangan tanya lagi, bahwa mahasiswa masuk LDK/LDF hanya meneruskan ke-ROHIS-annya mereka semasa SMA. Bagaimana yang belum pernah mengikuti rohis? Bagaimana yang ingin taubat tapi masih pacaran? Cari saja gereja! Disana lebih aman bagimu. LDK/LDF hanya tempat penerus ke-ROHIS-an yang mahasiswa sudah hafal al-ma’tsurat, juz amma bahkan khatam.

Semua cerita-cerita kejayaan dakwah dari para senior menguap begitu saja. Menguap utopis seperti Karl Marx yang gagal menyakinkan komunis pada dunia. Menguap tatkala fakultas terhegemoni oleh kepentingan pusat. Pusat mewajibkan standardisasi bagi anggota baru, pusat memberikan kurikulum yang bahkan “kalimatnya” saja malaikat tidak bisa mengubah. Semua menjadi semakin utopis tatkala “beberapa” fakultas gagal memegang medan dakwahnya. Di sisi lain “sebagian” fakultas berjaya dengan sebutan “center of kader”, “fakultas pesantren” dsb. Fakultas-fakultas yang “rontok” semakin diperparah dengan regenerasi yang mandek. Jabatan-jabatan posisi strategis masih saja diisi senior-senior yang sudah 3 tahun berjibaku. Kader-kader muda “tersingkirkan” dengan direbut ormawa-ormawa lainnya macam HIMA, BEM dan BSO lainnya.

LDF fakultas semakin tidak berdigdaya ketika LDK bersiap menghadapi PEMIRA. Sudah menjadi lumrah tatkala “ikhwah” ingin mempertahankan regenerasi di tingkat BEM Universitas. Maka secara tersirat LDK bermain peran dibelakang pemenangan tim sukses calon “yang diusung dari ikhwah.” LDK kemudian secara instruktif membentuTPF yang lagi-lagi disini berperan sebagai “martil” disetiap fakultas masing-masing. Kerjanya hanya mengikuti instruksi pusat, melaporkan data dan bersiaga memenangkan pemira di tingkat fakultas. Tak lebih dan tak kurang. HANYA ITU SAJA! Lalu, dimana kalimat yang mengatakan bahwa dakwah harus sinergis. Lupakan “sinergis” karena yang ada hanya “instruktif”!

Menuju Pembaruan Dakwah.

LDK seyogyanya memberikan otonomi dakwah kepada LDF dengan segala kebebasannya seperti:

a). Standardisasi Anggota baru LDF.

b). Standardisasi kurikulum yang disesuaikan dengan LDK.

c). LDF berhak menentukan corak dan gaya dakwah dalam lingkup fakultasnya.

Sementara peranan LDF dalam konstelasi PEMIRA:

a). Seyogyanya TPF memberi masukan mengenai model kampanye yang produktif di tingkat bawah. Dan itu juga menjadi pertimbangan penting (jangan hanya jadi kacamata kuda).

b). Seyogyanya antara TPF dan LDK secara aktif dan bersama-sama membangun proses kerjasama yang menguntungkan bukan merugikan di satu pihak.

Identitas Penulis,,

Subandi Rianto merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Merupakan mahasiswa yang baru belajar, mengenal dan memahami dakwah. Pernah mengikuti pelatihan Islamic Youth Camp di Cibubur Jakarta dan Bogor-Jawa Barat. Mabit Pemenangan Pemilu 2009 PKS di Masjid Ummul Quro-Bogor. Saksi pada PILKADA Putaran Kedua Kabupaten Bogor dari utusan PKS 2009. Panitia I’tikaf di Masjid Labschool-Jakarta Timur, Tim Trainer Quantum Learning di beberapa sekolah dasar islam terpadu (SDIT Rahmaniyah-Bogor, SDIT Insan Kamil Depok dan SMPIT Ummul Quro-Bogor). Pernah mengikuti Aksi Akbar “One Man One Dollar for Palestine” long march dari Bundaran HI-Jakarta ke Kedubes AS yang digagas oleh Partai Keadilan Sejahtera 2007. Serta aksi akbar “Mengutuk Pembantaian Sabra dan Shatila” di Bundaran HI-Jakarta yang digagas oleh Lembaga Amil Zakat se-Indonesia 2008. Penulis juga aktif di LDF SKI FIB sebagai staff Syiar, pernah menjadi Panitia Training Keislaman I. serta beberapa ormawa seperti BEM dan HIMA.

Diplomat Indonesia dari Masa ke Masa : Sebuah Tinjauan Historis



Oleh: Subandi Rianto

Indonesia hingga saat ini mempunyai hampir ratusan diplomat yang bergerak diluar negeri. Baik yang dari tingkatan atase hingga duta besar (ambassador). Dimana dari sekian banyaknya diplomat dari masa ke masa, publik sepertinya sudah familiar dengan nama Ali Alatas. Sebagai seorang menteri luar negeri di era Soeharto, beliau mempunyai kemampuan berdiplomasi yang ulung. Mulai dari mahir beberapa bahasa asing, kemampuan bernegosiasi hingga kemampuan dalam persuasif.

Weighing sources against each other

It ,will be clear, then, that historical research is not a matter of identifying the authoritative source and then exploiting it for all it is worth. for the majority of sources are vi some way inaccurate, incomplete or tainted by prejudice and self-interest. The procedure is rather to amass as many pieces of evidence as possible from a wide range of sources – preferably from all the sources that have a bearing on the problem in hand. In this way the inaccuracies and distortions if particular sources are more likely -o be revealed, and the inferences drawn by the historian can be corroborated. Each type of source possesses curtain strengths and weaknesses; considered together, and compared one against the other, there is at least a chance that they will reveal the true facts – or something very close to them.

Dolly dan Penyakit Masyarakat

Menjadi sebuah pertanyaan dialektis ketika kita semua menyikapi pemkot yang berencana “menertibkan” dolly lebih teratur. Bila dilihat secara norma-norma sosial maka lokalisasi adalah sebuah penyakit masyarakat. Namun, untuk mewadahi “hasrat” beberapa masyarakat yang kelewat besar, lokalisasi adalah tempat terbaik. Ranah persoalan ini menjadi semakin rancu manakala dibawa dalam diskusi logika. Bagaimana bisa? Seumpama seperti ini, manakala lokalisasi tetap ada, maka kejahatan pemerkosaan di Surabaya bisa diminimalisir. Sementara jika rencana lokalisasi Dolly akan ditutup, bukan tidak mungkin kriminalitas pemerkosaan akan kembali naik. Bukan tidak mungkin gadis-gadis yang berkeliaran di malam hari menjadi korban? Bukan tidak mungkin akan semakin banyak para suami selingkuh dan akhirnya berujung kepada tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian,

Jumat, 05 November 2010

Kondisi Tiongkok Pada Masa Dinasti Qing

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Sejarah Asia
Disusun Oleh:

1. Ainur Rofiah (120610162)
2. Agung Pramudita (120710260)
3. Aji Kusuma Atmaja (120914067)
4. Rajendra Rizza D (120914066)
5. Arfita Meifiana S (120914044)
6. Yeni Susanti (120914071)
7. Subandi Rianto (120914028)
8. M. Dziky Dzulkarnain (120914021)


Analisis Ekologi Kota dan Teori Landasan Berpikirnya (Essai Mata Kuliah Ekonomi Perkotaan)

Oleh: Subandi Rianto
Landasan Berpikir Analisis Ekologi Sebuah Kota
Membicarakan masalah ekologi perkembangan sebuah kota, perlu adanya landasan berpikir yang menjadi pendukung analisis kedepannya. Landasan berpikir biasanya diambil dari beberapa teori mengenai perkotaan dari para pakar perkotaan yang berkompeten. Essai ini akan mengambil beberapa contoh teori analisis kota yang bisa dijadikan landasan berpikir kita dalam mengamati ekologi sebuah kota. Beberapa teori dari pakar analisis perkotaan:
T.G. McGee, seorang pakar perkotaan dari University of British Columbia memberikan teori bahwa kota Jakarta-Bandung, Yogyakarta-Semarang dan Surabaya-Malang akan berkembang menjadi kawasan mega-urban atau Extended Metropolitan Region (EMR) yakni sebuah kawasan perkotaan yang amat luas dengan jumlah penduduk besar melebihi ukuran metropolitan. McGee menambahkan bahwa kawasan EMR terdiri atas kota inti (core city), wilayah metropolitan, serta wlayah-wilayah pedesaan yang tumbuh menjadi pendukung dan sedang mengalami transisi industrialisasi.
Alan Gilbert dan Josef Gugler, penulis buku “Cities, Poverty and Development: Urbanization in The Third World” memberikan pernyataan bahwa ciri-ciri perkembangan kota-kota di negara dunia ketiga adalah terjadinya polarisasi dan distorsi. Dimana disaat pusat kota mengalami akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi yang memicu akselerasi industrialisasi. Namun, disaat lain kota tersebut menjadi tidak sensitif dengan masalah kemiskinan dan kaum terpinggirkan lainnya. Dengan kata lain, ada beberapa orang yang tergusur haknya dengan perkembangan kota.

Analisis Ekologi Kota Oleh Penulis
Berlandaskan dengan teori yang ada, penulis berusaha memaparkan analisis dan beberapa pengalamannya dalam menjelajah beberapa kota di Pulau Jawa.
Pendapat McGee yang menyatakan bahwa Jakarta-Bandung, Yogyakarta-Semarang dan Surabaya-Malang akan menjadi kota urban besar (megalocities) memang tidak bisa dinafikan lagi, karena pada kenyataannya kota-kota diatas tumbuh dan berkembang lebih cepat dibanding kota-kota lain di Indonesia. Analisis McGee dilengkapi dengan pemaparan mengenai struktur kota EMR yang sesungguhnya. Dan analisis Gilbert dan Gugler lebih terfokus pada sebab dan akibat dari perkembangan sebuah kota. Sementara penulis sendiri akan menganalisis secara kota-perkota sesuai dengan landasan teori diatas.
a). Jakarta, secara historis memang sejak lama sebagai ibukota negara, pusat ekonomi-bisnis dan pusat pemerintahan. Tidak terelakkan lagi bahwa ketiga-tiganya menyebabkan Jakarta tumbuh menjadi kota yang kelebihan berat badan serta mengalami penyakit kronis. Dimana pertumbuhan jumlah penduduk meningkat tajam, kenaikan jumlah kendaraan bermotor juga mengalami hal yang sama. Kedua-duanya memicu adanya okupasi lahan dan pemukiman serta perluasan jalan raya. Manakala Jakarta berkembang menjadi pusat kota dari segala kota, maka membutuhkan kota-kota di sekelilingnya untuk menjadi kota pendukung. Ini bisa dilihat dimana 90% orang yang bekerja di Jakarta berasal dari kawasan Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Jakarta juga membutuhkan kota sekelilingnya untuk membantu pertumbuhan ekonominya agar lebih kencang. Bogor akhirnya menjadi pusat distribusi bahan baku makanan yang meliputi sayur-sayuran (Cipanas dan Puncak Bogor), teh dan kopi dll. Bogor sendiri juga menjadi kota pendukung Jakarta dalam hal perumahan. Kota pendukung perumahan untuk para pekerja di Jakarta bukan hanya Bogor saja, akan tetapi juga di Bekasi, Depok dan Tangerang. Perumahan-perumahan elit bisa dilihat disepanjang kota tersebut, Kemang Village, villa-villa di Puncak Bogor (Bogor), Ciputat, Pondok Indah, Pondok Labu, Pondok Ungu, Pondok Cabe (Depok) dan Jatimulya, Jatiwaringin serta Jatiluhur (Bekasi).
Secara cepat juga Jakarta juga membangun transportasi ke berbagai kota-kota pendukungnya. Ada ratusan jaringan bus, angkot serta kereta api yang menghubungkan Jadebotabek. Setiap hari saja, dari Kota Bogor ada ratusan bus umum yang berangkat ke Jakarta. Serta ratusan Kereta Listrik yang diberangkatkan sejak pagi pukul 06:00 dari stasiun Bogor (stasiun paling selatan) hingga pukul 22:00 malam. Jakarta akhirnya semakin membesar dengan polarisasi kota-kota di sekitarnya yang tergabung dalam Jadebotabek.
b). Bandung, hanya dua jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Jakarta. Hal ini terjadi manakala jalan tol Jagorawi, Cileunyi-Pasteur dibangun pada awal tahun 2000-an. Bandung seolah menjadi magnet kedua bagi pekerja kantoran di Jakarta yang ingin melepas lelah pada saat weekend. Bandung akhirnya berkembang menjadi pusat hiburan, mulai dari fashion, kuliner serta pusat jajan masyarakat dan hiburan. Dari Jakarta ke Bandung sudah banyak ratusan travel yang siap mendukung melewati jalan tol Jagorawi, Cileunyi-Pasteur. Serta jaringan kereta api dari Jakarta ke Kiaracondong dan Stasiun Bandung. Posisi Bandung sebagai ibukota Jawa Barat semakin memberikan nilai plus tersendiri.
(Penulis pernah tinggal selama lima tahun di Bogor untuk menempuh pendidikan SMP dan SMA).
c). Yogyakarta dan Semarang. Dua kota yang berbeda provinsi serta menjadi ibukota masing-masing dari provinsinya. Yogyakarta sebagai sebuah kota budaya dan pendidikan memiliki beragam nilai plus tersendiri bagi perkembangannya menjadi sebuah kota besar. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta memiliki ratusan lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Lembaga pendidikan tersebut otomatis menjadi penyedot utama masuknya penduduk dari luar Yogyakarta untuk mendiami wilayah kota pendidikan tersebut. Implikasi dari arus migrasi pelajar dari luar kota ke Yogyakarta ada begitu banyak. Selain faktor-fakto negatif seperti adanya seks bebas tentu saja faktor positif menjadi potensi untuk berkembangnya bisnis kos-kosan, kuliner serta industri kreatif lainnya. Universitas Gajah Mada pernah melakukan riset bahwa arah perkembangan kota Yogyakarta cenderung berkembang ke arah utara. Dimana batasnya mulai dari Kraton Yogya, Malioboro hingga ke utara, Jalan Kaliurang, UNY hingga terus ke UGM. Ada beragam faktor kenapa kecenderungan tersebut terjadi. Selain banyak perguruan tinggi di wilayah Jogja utara juga pusat-pusat pemerintahan Yogya ada di sebelah utara (Timoho, Kridosono dan Balaikota). Semarang sendiri merupakan kota pantai yang berkembang karena arus ekonomi dari pelabuhan-pelabuhan di pantai utara yang semakin menunjukkan sentiment positif. Arus Impor dan Ekspor Provinsi Jawa Tengah selalu bergerak di pintu gerbang utama Tanjung Mas-Semarang. Selain, itu faktor adanya perguruan tinggi Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang juga menjadi pemicu meningkatnya jumlah penduduk musiman kota Semarang. Antara Semarang dan Yogyakarta dihubungkan oleh jaringan transportasi bus, kereta dan beragam travel lainnya. Yogyakarta dan Semarang didesain untuk menjadi kawasan terpadu dalam hal pariwisata, ekonomi dan budaya yang disebut kawasan JOGLOSEMAR (Jogja, Solo, Semarang).
c). Surabaya-Malang. Secara historis dapat dilihat bahwa semenjak zaman kerajaan dan kolonial, Surabaya telah berkembang menjadi kota pelabuhan yang besar. Hal tersebut pastinya memicu adanya arus urbanisasi dari kota-kota disekelilingnya. Seperti Krian, Sidoarjo, Mojokerto dll. Arus urbanisasi tersebut menyebabkan adanya percampuran kebudayaan yang disebut budaya Arek. Seiring adanya percampuran kebudayaan, Surabaya semakin padat dengan penduduknya dan tentu saja naik ekonomi dan bisnisnya juga. Manakala Surabaya berhasil naik secara ekonomi, Malang juga terkena getahnya, karenanya urat nadi ekonomi Surabaya ditopang secara penuh oleh kota Malang (bahkan sejak zaman kolonial, para residen Belanda lebih sering berlibur ke kota Malang). Malang berkembang menjadi pusat kuliner, pariwisat serta pusat souvenir-souvenir.
Subandi Rianto, NIM 120914028
Student of History Department, Faculty of Humanities, Airlangga Universty
subandi.rianto@gmail.com, www.subandi-rianto.blogspot.com.

Jumat, 09 Juli 2010

"Sebuah Surat dari Akhwat tentang Cinta (Sebuah renungan untuk para Ikhwan)"

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Ini adalah kisah yang sudah sangat melegenda:

- Tentang Julius Caesar, kaisar Romawi yang rela

kehilangan kehormatan, kesetiaan dan bahkan negaranya demi si Ratu Penggoda: Cleopatra.

Semua dia lakukan (kata ahli sejarah)...atas nama cinta



- Ini kisah tentang pemuda bernama Romeo, demi seorang wanita, rela kehilangan keluarga, dan tentu saja nyawa... tetap saja: atas nama cinta



- Satu lagi.., seorang janda bernama Khadijah, yang rela mengorbankan segalanya demi membela pemuda bernama Muhammad, yang dia yakini membawa risalah Tuhannya.



Ini juga: atas nama cinta -kata Jalaluddin Rumi- "Cinta akan membuat yang pahit menjadi manis, dengan cinta.. tembaga menjadi emas, dengan cinta.. yang keruh menjadi jernih, dan dengan cinta.. sakit menjadi obat, dengan cinta.. yang mati akan menjadi hidup dan cintalah yang menjadikan seorang raja menjadi hamba sahaya, dari pengetahuanlah cinta seperti tumbuh..."



'Afwan, aku bukan pujangga yang hendak membahas tentang cinta. Aku juga tidak sedang mencampuri urusan orang lain (Aku hanya ingin memposisikan diri sebagai seorang saudara.. yang wajib hukumnya untuk mengingatkan saudaranya yang mungkin...salah langkah).



Bila aku salah, atau... artikel ini tak berkenan, mohon maaf.

Itu saatnya aku untuk dikritisi...

Aku ingin bicara atas nama wanita, terlebih akhwat (kalau boleh sih).



Tolong untuk para ikhwan (atau yang merasa sebagai muslim): Wanita adalah makhluk yang sempit akal dan mudah terbawa emosi. Terlepas bahwa aku tidak suka pernyataan tersebut, but itu fakta. Sangat mudah membuat wanita bermimpi.



Tolong, berhentilah memberi angan-angan kepada kami.



Mungkin kami akan melengos kalau disapa. Atau membuang muka kalau dipuji. But, jujur saja, ada perasaan bangga. Bukan suka pada Antum (mungkin) but suka karena diperhatikan "lebih".



Diantara kami, ada golongan Maryam yang pandai menjaga diri. Tetapi tidak semua kami mempunyai hati suci.



Jangan Antum tawarkan sebuah ikatan bernama ta'aruf bila Antum benar-benar belum siap akan konsekuensinya. Sebuah ikatan ilegal yang bisa jadi berumur tak cuma dalam hitungan bulan, tetapi menginjak usia tahun, tanpa kepastian kapan akan dilegalkan.



Tolong, pahami arti cinta seperti pemahaman



Umar Al Faruq: seperti induk kuda yang melangkah hati-hati karena takut menginjak anaknya (afwan, bener ini ya riwayatnya?). Bukan mengajak kami ke bibir neraka. Dengan SMS-SMS mesra, telepon sayang, hadiah-hadiah ungkapan cinta dan kunjungan pemantapan yang dibungkus sebuah label: ta'aruf.



Tolong, kami hanya ingin menjaga diri. Menjaga amal kami tetap tertuju pada-NYa. Karena janji Allah itu pasti. Wanita baik hanya diperuntukkan laki-laki baik.



Jangan ajak mata kami berzina dengan memandangmu.



Jangan ajak telinga kami berzina dengan mendengar pujianmu.



Jangan ajak tangan kami berzina dengan menerima hadiah kasih sayangmu.



Jangan ajak kaki kami berzina dengan mendatangimu.



Jangan ajak hati kami berzina dengan berkhalwat denganmu.



Ada beda...persahabatan sebagai saudara, dengan hati yang sudah terjangkiti virus..... Beda itu bernama "rasa" dan "pemaknaan"



Bukan, bukan seperti itu yang dicontohkan Rasulullah r.



Antum memang bukan Mush'ab



Antum juga tak sekualitas Yusuf I,



tetapi Antum bukan Arjuna dan tak perlu berlagak seperti Casanova. Karena Islam sudah punya jalan keluar yang indah: segeralah menikah atau jauhi wanita dengan puasa



Tolong, sebelum Antum memutuskan untuk mendatangi kami, jawab dulu pertanyaan ini dengan jujur:



- Setelah 3 bulan Antum mendatangi dan menyatakan cinta, Antum masih belum siap untuk mengikrarkan dalam sebuah pernikahan?



- Ataukah Antum masih butuh waktu lebih lama dan meminta kami menunggu, dengan alasan yang tidak syar'i dan terlalu duniawi? Kalau jawabannya "YA",: "SELAMAT"



berarti Antum lebih pantas masuk surga dibandingkan Ali bin Abi Thalib t? Dia baru berani mengatakan cinta kepada Fathimah, setelah menikah.



Ali pemuda kesayangan Rasul, tetapi menunggu waktu bertahun-tahun untuk mengatakannya.



Bukan karena dia pengecut, tentu saja justru karena dia adalah laki-laki kualitas surga...



Tolong, kami tidak ingin menyakiti hati calon suami kami yang sebenarnya. Mereka berusaha untuk menjaga hijab, agar datang kepada kami dalam kondisi suci hati, tetapi kami malah menjajakan cinta kepada laki-laki yang belum tentu menjadi suami kami. Atau Antum sekarang sudah berani menjamin bahwa Antum adalah calon suami kami sebenarnya?



Maaf, wanita itu lemah dan mudah ditaklukkan.



Sebagai saudara kami, tolong, jaga kami. Karena kami akan kuat menolak rayuan preman, tapi bisa jadi kami lemah dengan surat cinta kalian.



Bukankah akan lebih indah bila kita bertemu dengan jalan yang diberkahi-NYA? Bukankah lebih membahagiakan bila kita dipertemukan dalam kondisi diridhai-NYA?



Bukan cuma saat menikah, tetapi saat pertemuan yang juga bebas dari maksiat.



Allah Maha Pencemburu, dan DIA Maha Memiliki kami, so...mintalah kepada-Nya sebelum mendatangi kami.



Wassalamu'alaikum Warahmatullah

www.syahidismail.blogspot.com

Rabu, 09 Juni 2010

“The Crescent in The East : Islam in Asia Mayor” BAB Muhammadiyah in Minangkabau dan The Relationship between Muhammadiyah in Java and Minangkabau.

Awal-awal tahun 1925, seorang guru agama dari Sumatra (Minangkabau), Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) mengunjungi komunitas penjual batik dari Minangkabau yang bermukim di daerah jawa tepatnya di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Beliau sangat terkejut dengan perkembangan organisasi islam Muhammadiyah yang dipimpin oleh saudara iparnya tersebut. Dari Kota Pekalongan, beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kota Yogyakarta. Disana beliau bertemu dengan anggota dan pimpinan Muhammadiyah pusat, serta mengunjungi beberapa sekolah/madrasah yang dikelola oleh Muhammdiyah. Haji Rasul kemudian kembali ke Sumatera dan terinspirasi untuk membentuk sebuah organisasi di kota asalnya tersebut. Dimana dengan sebelumnya Haji Rasul pernah terlibat dalam pergerakan perhimpunan pelajar Sumatra (Sumatara Thawalib/ Sumatra Student Association) dan kemudian diinfiltrasi oleh pengaruh-pengaruh komunis.
Haji Rasul kemudian membangun sebuah perubahan dalam organisasi-organisasi pendidikan seperti Sandi Aman (Pusat Kedamaian) yag beliau dirikan di Sungai Batang, sebagai representasi dari cabang Muhammadiyah di Sumatra. Meskipun Sandi Aman secara ideologi dan pandangan sejalan dengan pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Namun dikemudian hari sejarah mencatat bahwa Sandi Aman berkembang berbeda dari organisasi induknya.

Senin, 26 April 2010

Berkaca dari Sebuah Kereta Ekonomi : Sebuah Diskursus Mengenai Sosialisme-Komunisme (Look ahead from Economic class Train : a discuss about Socialism

Written By : Subandi Rianto
History and Culture Researcher from Airlangga University-Indonesia.
Abstract
Generally, we know that Indonesia Communist Party was destroyed by government at 1965s. Hundred of people Communist Party was killed with the gun in java and the others in Bali Island. Although Socialism and Communist will be swap from Indonesia. The Resident of Indonesia has that Socialism Paradigm long time ago before Indonesia Communist Party born. So, that socialism paradigm can we look and realize in around ourselves. The discuss will be focus in the Economic Class Train in Indonesia. You can look that condition in the third class was very amazing. The Passengers always sahre his seat to others, and they know if the all passengers are same. Both the Passengers and “Pengamen” is same and can seat in the train, and the seat are free from booking.
That condition will not found in the Business Class and Executive Class. Why? Because in the Business and Executive class, the chair have been booking by ticket, booking by person. So, that condition only the people have many money. Not for poor people. Specially from Business and Executive class is the “Pengamen” and seller can not enter the train. Because that rules from Train Authority. Than, what is problem with this article? The problem is if long time ago government will swap the socialism, why now they give that paradigm into the Economic Class Train.
Our paradigm government are not bright. If will give socialism paradigm, we can see The Cina, they success give socialism system into they country. What about Indonesia? Indonesia has two paradigm. Socialism in the Economic Class Train. And also capitalism in the Business and Executive Train. So, which one government to do?. If the government understand with the constitution, maybe they can change Economic Class Train like Executive class. With the comfortable Seat and Air conditioner. Maybe the Government not understand what is the constitution tell. The Resident must be cover that life by money from state.(The Constitution say “earth, water and country wealth as used by many people must be grasp by state and use to all resident again).

Hampir puluhan tahun yang lalu, paham komunis dan sosialis di Indonesia dihabisi baik secara kultural maupun ideologisnya. Singkatnya, ideologi semacam itu dapat dikatakan membahayakan keutuhan negara, sebuah anekdot guyon politik gaya orde baru. Tapi, benarkah prinsip-prinsip sosialisme-kolektivis dapat hilang dari masyarakat kita, atau dengan bahasa lugasnya dikatakan dihilangkan dari sosiokultul negeri kita. Tampaknya hanya omong belaka bahwa hal-hal semacam itu bisa terjadi. Negara sebagai sebuah terminologi kontrak politik selalu mengingatkan warganya akan bahaya laten komunis-sosialis. Tapi, warga sebagai pemegang kontrak politik tetap saja mewarnakan unsur-unsur tersebut dalam kehidupannya.
Memang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dulunya menjadi “tertuduh” dalam kudeta berdarah 1965 telah dihabisi secara frontal oleh sang penguasa. Beragam cara berusaha dimusnahkan agar “sang komunis-sosialis” segera lenyap dari bumi pertiwi. Beribu-ribu simpatisannya dibantai diseantero Pulau Jawa. Bahkan ada yang digiring ke Bali untuk dieksekusi. Negara tertawa sebagaimana mereka menyenangkan pihak-pihak yang ketakutan akan komunisme. Negara-negara yang berhaluan lberal-kanan selalu bermain tangan di Indonesia untuk menyingkirkan komunisme.
Tulisan yang disusun seobjektif mungkin ini bukan berarti penulis mendukung komunisme, atau menyanjung sang penguasa yang liberal-kanan. Artikel disusun atas realita yang terjadi di konteks kekinian dengan sudut pandang refleksi sejarah. Ada sebuah pertanyaan penting yang bisa menyadarkan kita akan adanya prinsip-prinsip sosialisme disekeliling kita. Apakah unsur-unsur utama dari sosialisme dan Komunisme itu? Apakah hanya sekedar merebut kekuasaan negara dengan kekerasan macam revolusi merah di Uni Soviet? Atau revolusi tanpa pertumpahan darah macam Revolusi Bunga di Spanyo?. Tidak! Paham-paham itu masih mengatur hal-hal lain yang kebanyakan dilupakan orang. Paham-paham diatas menekankan akan kolektivisme yang sekarang sedang bergaung di Negera Cina.
Beginilah realita yang ada di masyarakat kita, suatu hari datanglah anda ke stasiun. Naik kereta ekonomi dan rasakan perbedaannya jika menaiki klas Bisnis dan Eksekutif. Di kereta klas nomor 3 itu, anda akan menemui bagaiman semua orang. Semua penumpang adalah sama, penumpang bebas mengambil tempat duduk dimana saja. Dimana letaknya? Perhatikanlah, penumpang yang kebagian tempat duduk ataupun tidak akan merasakan bahwa mereka pasrah dengan keadaan yang ada. Dengan pola, setiap ada penumpang yang turun, dapat dipastikan ada siklus perpindahan tempat duduk. Tempat duduk yang kosong akan segera diisi oleh yang lainnya. Pun Para pengasong bebas berkeliarandi setiap gerbong, entah cuma hanya penjual tahu semata, koran atau pengemis pun dibebaskan untuk masuk. Bahkan jika para pengasong dan pengemis itu juga ingin naik kereta sampai tujuannya. Semua adalah sama dan tak ada yang diistimewakan. Begitulah kolektivisme?
Bandingkan jika dengan klas Bisnis dan Eksekutif. Nomor tempat duduk telah ditentukan. Serta para pengasong dan pengemis dilarang masuk. Dulu untuk yang eksekutif ada service plus, mendapat makanan gratis. Serta untuk klas eksekutif terdapat pendingin udara. Jelas! Anda akan mendapat perbedaannya yang mencolok hanya dari melihat salahsatu contoh kecil saja. Apakah paham-paham kolektivisme di negara kita masih ada? Simpulannya saya serahkan kepada anda sendiri. Anda bisa melihat bahwa perkereta apiaan kita pun selain menganut paham-paham sosialisme-komunisme juga liberalisme-Kapitalis. Lihatlah, kolektivisme terjadi di hampir semua kereta klas ekonomi. Sementara prinsip-prinsip liberalisme-kapitalis terjadi di klas bisnis dan eksekutif. Lihatlah bahwa yang mempunyai modal (kapital) lebih pasti akan mendapat klas yang nyaman dan plus.
Kemudian, apa yang harus dilakukan. Kalau negara ingin menerapkan kolektivisme dalam dunia masyarakat kita. Khususnya perkereta apiaan. Maka, pemerintah harus menganggarkan subsidi untuk penyejahteraan kereta kelas ekonomi. Denga subsidi, maka kereta kelas ekonomi dapat lebih baik. Bisa diperbaiki kuota tempat duduk tiap gerbong dan ditambah pendingin udara. Dengan demikian masyarakat yang berpenghasilan rendah pun dapat menikmati “kebaikan” pemerintahnya. Bukankah dana APBN juga berasal dari rakyat. Dan impian inilah telah terjadi di negara Cina, negara suporpower tersebut banyak menggelontorkan subsidi untuk perbaikan militernya, subsidi pertanian hingga elektronik dan transportasinya. Makanya Anda jangan heran begitu Asean-Cina Free Trade Area dibuka, semua negara ketakutan akan murahnya harga barang-barang dari Cina. Mereka murah karena banyak subsidinya.
Demikianlah, paham-paham disekeliling kita pun sering tercampur aduk antara kolektivisme dan kapitalisme. Negara memang memerlukan kolektivisme untuk “mengelabuhi” rakyat agar tetap mendapat kebaikan pemerintah dengan klas ekonominya. Sementara negara juga tak ingin kehilangan simpati dari para “borjuasi” (klas menengah ke atas). Mereka dibutuhkan karena kemampuan dan uangnya. Maka pelayanan untuk mereka pun juga dilebihkan atas sebagian dari yang proleterat (klas bawah).
Hasil akhir artikel ini bukan merekomendasikan paham kolektivisme-Sosialisme-Komunisme untuk dihidupkan di Indonesia. Tengoklah Undang-Undang Dasar, disana kita punya gabungan antara dua paham di atas, Kita mempunyai paham Ekonomi Kerakyatan. Paham-paham kerakyatan yang oleh Ir. Soekarno itu diambil dan diolah dari kepribadian rakyat Indonesia. Dan paham itulah yang harusnya dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia. Bagaimana pola Ekonomi Kerakyatan tersebut? Salah satu pasal Undang-Undang mengatakan bahwa bumi, air dan kekayaan hidup yang digunakan untuk kepentingan rakyat banyak akan dikuasai negara. Serta digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, sudahkan negara menguasainya? Sudah tentunya. Kemudian apakah rakyat sudah sejahtera dengan fasilitas negara yang ada? Belum sama sekali. Kereta kelas Ekonomi telah menunjukkan bagaimana kesejahteraan itu belum terjadi? Kalau ingin kesejahteraan itu terjadi, pemerintah tentunya akan mengucurkan dananya untuk Kereta Klas Ekonomi guna kesejahteraan rakyat kelas bawah. Semoga Pemerintah Indonesia, Pejabat tinggi Kementerian Perhubungan dan Dirjen Perkeretaapian serta jajarannya dapat dengan sadar melakukan perubahan.
Sesungguhnya, kami ingin bahwa bangsa ini mengetahui bahwa Ia lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Semoga Indonesia ke depannya lebih sejahtera. Amin.

Email : subandi.rianto@gmail.com
Mobile : +62812 2779 7042
http://www.subandi-rianto.blogspot.com

Mendengarkan Shalawat Nabi dengan Nuansa yang Berbeda

Oleh : Subandi Rianto
*Student of History Department of Airlangga University-Indonesia.


Shalawat nabi merupakan sesuatu yang sakral dalam ritualisme ibadah umat islam. Biasanya shalawat lebih sering dibacakan secara bersama-sama di masjid dalam rangka pengajian, yasiinan, istighosah atau semacamnya. Nuansa yang kita tanggap akan kurang lebih sama. Yaitu, merasakan kegetaran hati yang sama disaat shalawat secara serentak dibaca. Tapi, anda akan merasakan hal yang lebih hebat lagi manakala shalawat nabi dibacakan secara berbeda. Bagaimana maksudnya?
Saya pernah mengalami sedikitnya tiga kali nuansa yang berbeda dalam mendengarkan shalawat nabi. Tentu saja bukan di masjid atau di mushala-mushala. Nuansa itu, pertama saya tangkap ketika paruh terakhir tahun 2008. Beberapa hari menjelang Ramadhan tiba. Saat sedang duduk di mikrolet di Jakarta yang menuju ke arah Blok M. Bersama beberapa teman dan ”ustadz”, kami duduk di bagian depan. Hingga kemudian naiklah tiga orang pengamen yang penampilannya beda dari yang lainnya. Dua orang mengenakan kopiah, sementara yang satu mengenakan surban. Sebuah gendang dan ecrekan mereka pegang. Beberapa menit nada awal dinyanyikan. Hemm... ternyata shalawat nabi. Bisa anda bayangkan, disebuah bus kota (mikrolet) di Kota Jakarta yang sedang kondisi penuh, pengap dan sesak. Plus macet lagi. Setetes embun dinyanyikan diantara kami. Hati saya mak cess mendengarnya, terasa ada yang berbeda suasana siang itu, sebuah rindu terbit dari hati terdalam saya. Rindu kepada Kanjeng Nabi lewat nyanyian shalawatnya tadi.
Akhir tahun 2009, ketika saya hendak balik ke Surabaya dari Yogyakarta untuk kuliah. Kereta Ekonomi Sri Tanjung menjadi pilihan transportasi. Selain hemat biaya juga bisa lebih merakyat. Ketika itu, kereta sudah berangkat dari Lempuyangan-Yogyakarta sejak pagi sekali, pukul 07:00. Menjelang Kota Sragen dan Solo. Para penumpang semakin menjejali angkutan rakyat tersebut. Selepas Kota Solo, serombongan pengamen. Berjumlah tiga orang juga, mengenakan pakaian pas-pasan. Seorang membawa gitar, sisanya membawa ecrek-ecrek dan sebuah gelas air minuman. Tahukah apa yang mereka nyanyikan? Ya, shalawat nabi lagi. Waktu itu saya hampir tidak tahu kalau ada pengamen yang naik kereta, kalau mereka tidak menyanyikan shalawat nabi. Bagi saya di sebuah kereta ekonomi sudah ada puluhan pengamen yang nyanyi dan kurang lebih nada maupun liriknya sama saja. Hingga membuat saya acuh tak acuh terhadap yang namanya pengamen. Tapi, ini adalah nuansa yang berbeda. Nuansa yang dibawakan beberapa orang pengamen. Saya sempat menoleh mencari asal suara shalawat tersebut, karena saya merasa ada nuansa yang begitu agung. Nuansa agung di tengah-tengah derit kereta ekonomi rakyat yang penuh dengan kesengsaraan. Panas, pengap, bising dan sesak. Tetes demi tetes membuat saya hampir saja menangis. Maklum suara mereka seperti mengingatkan bahwa sebentar lagi dunia ini mendekati kiamat. Seakan-akan langit di atas sana sudah terlalu tua.
Awal tahun 2010, ketika sehabis mengikuti acara bedah buku di Universitas Kristen Petra-Sidoarjo. Saya harus segera kembali ke Surabaya sebelum hari gelap agar tidak sampai terlalu malam. Berawal dari menumpang angkot jurusan Terminal Joyoboyo, saya harus bersabar menunggu beberapa jam. Maklum, saat itu sedang ada razia gabungan Dinas Perhubungan terhadap angkot-angkot di sekitar Surabaya. Jadi, akhirnya saya pun baru sampai di Terminal Joyoboyo-Surabaya mendekati pukul 17:30. Hampir mendekati azan maghrib.
Akan tetapi, ditempat yang suasana sama pula. Seorang pengamen remaja membawa gitar hendak menyanyi. Awalnya saya pikir Ia akan menyanyi seperti pengamen-pengamen lainnya. Lirik dan nadanya sama. Dan angkot yang saya tumpangi sudah puluhan kali didatangi pengamen yang jenjang usianya beragam tapi nada dan liriknya sama. Bayangkan betapa bosannya penumpang seisi angkot tersebut. Tapi pengamen remaja tadi tidak, agaknya ia lebih kreatif. Nyanyian shalawat akhirnya mengalun pelan diiringi petikan gitar. Cess, saya merasakan ada aura yang berbeda menjelang azan maghrib dikumandangkan. Beberapa detik sebelum azan, nyanyian shalawat dari pengamen cilik tadi mampu melunakkan hati kami setelah lelah seharian beraktivitas. Tampaknya dari sekian puluh pengamen yang ”nongkrong” di angkot yang saya tumpangi. Hanya dia yang mendapat uluran uang beberapa ribu dari penumpang. (Tanpa bermaksud riya akhirnya saya juga ikut mengulurkan uang, terkesan akan nyanyian shalawatnya).
Begitulah, tampaknya Kanjeng Nabi akan selalu hadir disetiap sisi kehidupan kita. Hadir melalui shalawatnya untuk menjadi pengingat agar kita senantiasa selalu dekat dengan-Nya. Serta seperti yang kita harapkan selalu, semoga di akhirat nanti kita bisa bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan mendapatkan syafaatnya. Amien.

Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
Wa ala alihi wasohbihi wassalam.


Email : subandi.rianto@gmail.com
Mobile : +6281227797042
Web : http://www.subandi-rianto.blogspot.com

Kamis, 15 April 2010

AIDS, Pendidikan Seks dan Norma Agama

AIDS di Indonesia saat ini sudah dipandang sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beragam cara telah ditempuh untuk mengendalikannya, mulai dari sosialisasi penggunaan kondom, konser amal, seminar-seminar pendidikan seks dll. Namun, semua seolah-olah hanya gerakan sporadis yang belum menemukan ruhnya. Tingkat seks bebas yang dibarengi AIDS masih tetap saja tinggi. Bahkan hingga minggu-minggu ini, tingkat penderita seks mulai bergeser dari usia pemuda menuju usia remaja. Budaya seks bebas ternyata tidak mengenal umur, bahkan anak-anak usia produktif pun terancam masa depannya.
Berangkat dari penyakit satu ini, penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sikap pemerintah dan lembaga swadaya hanya sebatas tingkat kuratif saja. Tingkat penyembuhan dan penanganan korban dengan cara melakukan sosialisasi agar penderita tidak dikucilkan dari aktivitas lingkungan masyarakat. Sementara, untuk usaha preventifnya malah jauh dari panggang. Usaha-usaha preventif hanya sebatas menyebar brosur, mengadakan konser amal (yang tentunya hedon) atau malah menyebarkan kondom. Sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan jalurnya.
Bila usaha preventuf agar penyakit HIV-AIDS tidak meledak menjadi Kejadian Luar Biasa, kenapa yang dibagikan adalah kondom? Bukan obat-obatan yang bisa mencegah adanya HIV-AIDS. Saya rasa dengan membagi-bagikan kondom pada tempat yang umum malah akan menambah para penikmat seks bebas. Bayangkan, bila kondom-kondom itu jatuh ke tangan anak-anak muda yang notabene masih labil emosinya. Dengan rasa ingin tahunya yang begitu tinggi. Bukankah mereka juga akan mencoba-coba yang namanya seks bebas?. Lantas, yang terjadi bukan mencegah adanya penderita baru, tapi malah menambahnya.
Kemudian, langkah apa yang tepat untuk menanggulanginya? Jawabannya terletak pada pendidikan seks sejak usia dini (sex education). Namun, yang menjadi catatan adalah pendidikan seks dalam konteks ini tidak dilakukan begitu saja tanpa adanya pegangan yang jelas. Pendidikan seks akan menemukan ruhnya apabila kita satukan dengan norma-norma agama. Agama akan secara jelas mengatur bagaimana tatacara pendidikan dalam seks tersebut secara gamblang dan terperinci. Jadinya, dengan agamalah pendidikan seks bukan sebatas mainan dan bahan lelucon, yang biasanya sangat dinikmati oleh penderita seks bebas.
Langkah nyata pemerintah adalah membenahi pendidikan seks yang ada sekarang. Jangan sampai bola liar bernama sex education ini diumbar kesana-kemari tanpa ada hulu yang jelas. Dalam konteks umum, pendidikan seks hanya dipandang bagaimana cara-cara berhubungan seksual yang bersih dari ancaman virus HIV-AIDS, konteks tersebut biasanya mengacuhkan apakah hubungan seks tersebut legal atau ilegal. Bila pendidikan seks telah disatukan dengan norma-norma agama, maka akan terlihat jelas warnanya. Hitam atau putih akan tampak akibatnya. Agama memberikan panduan bagaimana tatacara berhubungan seksual yang aman dari ancaman virus dengan landasan utama adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan, maka setiap hubungan seksual yang dilakukan tergolong legal. Dan pelakunya akan terikat dengan aturan agama jika Ia melakukan hubungan seks diluar pernikahannya tadi.
Demikian, dengan adanya seks yang sesuai norma agama. Maka wujud penyakit HIV-AIDS akan nyata terlihat segmentasinya. Karena sebagian besar penderita HIV-AIDS adalah orang-orang yang melakukan hubungan seks ilegal, bahkan jika sudah menikah pun pastinya sebelumnya pernah melakukan seks bebas. Belum lagi dengan para remaja kita yang sudah familiar dengan yang namanya pacaran. Berlanjut dari hubungan biasa dan kemudian berakhir dengan hubungan seks bebas yang memang rentan akan penyakit mematikan ini.
Alangkah lebih baiknya lagi, jika para LSM-LSM tidak mengkampanyekan bahaya seks bebas dengan membagi-bagikan kondom di wilayah umum. Manakala kondom tersebut dibagikan di ranah lokalisasi silakan saja, karena hak tersebut ada dalam pemerintah guna menangani para PSK yang terlanjur jatuh ke dalam penyakit tersebut. Dengan membagi-bagikan kondom secara terbuka, maka jangan kaget jika penderita AIDS bukannya turun tapi terus melaju hingga tingkat yang mengkhawatirkan.
Upaya pemerintah pun, baik pemerintah pusat maupun daerah. Hendaknya bekerja lebih intensif sesuai dengan domain mereka. Jika pemerintah pusat bisa memasukkan kurikulum pendidikan seks ada dalam pelajaran agama. Kenapa tidak? Bukannya seks dalam agama bisa diperjelas secara hitam dan putihnya. Untuk pemerintah daerah sendiri, akan lebihnya mengurangi jumlah kondom yang bertebaran guna menjaga jatuhnya kembali korban akan iming-iming mainan sesaat ini. Bahkan bila perlu, kondom hanya akan diperjualbelikan untuk para suami istri yang sah, guna meredam penggunaan kondom yang tidak pada tempatnya.
Terakhir, pemerintah daerah dapat lebih menekan pusat-pusat lokalisasi agar mati secara berangsur-angsur. Contoh kasus adalah penanganan pemkot Surabaya dalam mengawal lokalisasi Kremil menuju kematian. Beragam cara dilakukan agar Kremil berubah status dan pusat lokalisasi bisa dimatikan. Secara preventif, memang para pengguana lokalisasi turun drastis akibat oembatasan penambahan PSK baru. Secara kuratif pun, para ”mantan” PSK tersebut juga dibekali ilmu-ilmu kewirausahaan sebagai bekal hidup selanjutnya. Seperti inilah, langkah konkret pemerintah yang patut dicontoh pemerintah daerah lainnya bahkan LSM-LSM sekalipun yang giat dan fokus akan isu-isu HIV-AIDS.

Senin, 18 Januari 2010

Moralitas Generasi Muda yang Bobrok…

Program Menteri Pendidikan Nasional yang baru, Muhammad Nuh untuk memasukkan teknologi dalam sistem pendidikan merupakan langkah inovatif. Langkah yang berguna untuk memajukan kompetisi pendidikan dalam Informasi dan Teknologi. Nah, ada baiknya sebelum pemerintah mengkonversikan dunia pendidikan menjadi berteknologi. Mental-mental generasi muda kitalah yang harus diperbaiki dahulu.
Sangat mengenaskan, ketika saya sebagai seorang mahasiswa di sebuah universitas Jawa Timur. Seringkali menyaksikan adanya penyalahgunakan teknologi di ranah pendidikan di provinsi paling timur pulau Jawa ini. Bayangkan saja, mulai dari video mesum para siswa SMA hingga soal naskah ujian yang cabul. Yang menjadi pertanyaan bagi kita, akan dibawa kemana pendidikan bangsa ini?.
Hampir sebulan ini, peristiwa-peristiwa bekisar video cabul atau video mesum sering menghiasai wajah media massa Jawa Timur. Bukan bermaksud etnosentris terhadap sebuah provinsi, tapi yang sangat saya sayangkan adalah jeda waktunya. Kasus itu beruntun dari kota ke kota yang mayoritas di provinsi para “santri” hanya hitungan bulan. Mulai yang dilakukan siswa-siswa SMA di sebuah kos, di sekolah maupun di sebuah universitas Islam ternama.
Mayoritas video-video semacam itu direkam menggunakan kamera handphone, dan disebar antar siswa untuk ditonton bersama-sama. Ini baru teknologi yang dikatakan masih massif antar personal saja. Nah, bagaimana jika anak-anak yang masih latah akan teknologi diberi “mainan” internet di setiap sekolah mereka, jikalau pembekalan “teknologi internet” tidak dibarengi dengan pembekalan moral. Niscaya hanya butuh beberapa tahun saja, bangsa ini akan seperti bangsa barat yang doyan akan video-video porno.
Bayangkan saja, jika kasus pembuatan video mesum oleh generasi muda bisa diupload ke internet. Akan geger semua para petinggi negeri ini. Salah satu cara menangkalnya adalah membekali mereka akan moralitas bijak menggunakan teknologi. Melarang generasi muda menggunakan teknologi merupakan kesalahan fatal bagi kemajuan bangsa, tapi membiarkan mereka “bermain” teknologi tanpa ada pembekalan moral malah lebih fatal bagi kemajuan bangsa. Bangsa ini tidak akan jadi maju.
Merefleksi dari program baru Mendiknas Muhammad Nuh, adalah agar pendidikan moral penggunaan teknologi juga disisipkan. Seiring dengan pengkonversian pendidikan Indonesia menuju dunia teknologi.

Hari Guru dan Kondisi Pendidikan Kita

Beberapa hari yang lalu, tanggal 25 November 2009 merupakan hari yang bersejarah bagi para pendidik negeri ini. Karena pada hari itu, merupakan hari Guru nasional. Sebuah hari yang istimewa untuk merefleksikan kembali peran guru dalam peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Walaupun pemerintah pusat sudah menaikkan anggaran pendidikan hingga 20% pada APBN tahun 2009 dan yang akan datang. Hal tersebut tidak bisa menjadi jaminan kuat akan semakin baiknya pendidikan kita.

Seseorang Termenung

Seperti biasanya, saat saya bersama teman-teman hendak pulang kampung dari Bogor ke Yogyakarta. Selalu lewat Stasiun Pasarsenen-Jakarta. Dari sanalah kereta akan melaju menuju stasiun berikutnya di sekitar Jakarta. Antara lain, Jatinegara, Bekasi dan Karawang hingga seterusnya. Suatu hari saat kereta dari Pasar Senen berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 06:15. Keadaan stasiun masih agak gelap dengan remang-remang cahaya lampu pijar.
Dipagi buta, dengan perlahan, Kereta Fajar Utama bergerak meninggalkan Jakarta. Sesaat keadaan malam Jakarta yang berubah siang terlihat dengan jelas. Warung-warung malam mulai berbenah bersih-bersih. Lampu-lampu rumah emperan rel kereta mulai dimatikan, menggeliat bangun sang penghuninya. Jalan-jalan sekitar rel mulai ramai oleh pemulung, pencari beling, pencari plastic, pengemis serta pencari nafkah lainnya.
Sejenak kehidupan pagi beberapa stasiun juga terekam. Banyak petugas menyapu sampah-sampah bekas penumpang tadi malam, pedagang mulai merapikan dagangannya menghadapi pagi yang berbeda, beberapa orang lalu-lalang sambil merokok –dari penampilannya mengesankan seperti preman-, serta loper-loper koran yang beranjak menawarkan Koran pagi Jakarta. Entah Warta Kota atau Pos Kota, dua-duanya sama-sama laku.
Ketika kereta melewati sebuah stasiun, melambat dengan perlahan-lahan. Pandangan saya tertuju pada sebuah tulisan besar “Stasiun Jatinegara”. Ah… teringat kawan saya orang Bogor yang pernah memberitahu sedikit nasihat mengenai satu stasiun ini. Ini adalah salah satu stasiun paling rawan di Jakarta. Katanya seringkali pencopetan dan perampokan mengintai penumpang d setiap sudut stasiun. Keadaan stasiun yang sedikit muram, semuram cerita kawan saya tadi memberikan kesan bahwa stasiun ini benar-benar “rawan”.
Di sebuah ujung peron yang hampir kotor oleh kaki-kaki penumpang, seseorang dengan memegang bungkus es terlihat duduk jongkok merenung. Memandangi garis-garis rel kereta. Tatapannya kosong menyimpan misteri. Muram. Serta menyiratkan penyesalan. Sejenak Ia mengambil nafas menyedot habis udara pagi Jatinegara. Sedetik kemudian pandangannya dialihkan ke pelataran stasiun yang mulai ramai oleh penumpang dan pedagang. Garis-garis wajahnya masih menyiratkan kekosongan. Entah, apakah Ia menanti sesuatu atau telah terjadi sesuatu pagi itu.
Fajar Utama kembali bergerak, Pikiran saya berkecamuk akan seseorang tadi, apakah yang terjadi dengannya? Beribu kemungkinan menghinggapi kepala saya hingga kereta beranjak keluar dari garis batas ibukota menuju Bekasi. Apakah ia sedang ada masalah dengan pikirannya, atau Ia menjadi korban pencopetan pagi itu?. Semestinya tidak, karena penampilannya layaknya penghuni sekitar stasiun. Tapi yang terngiang kembali adalah, apakah hingga sepagi itu Ia bekerja di stasiun belum mendapatkan sepeser uang pun? Sementara istri dan anaknya masih menunggu di rumah.
Berrrr, bergetar hati saya melihat sekilas keadaan tadi. Semoga saja tidak ada apa-apa dengan seseorang tadi. Memang kehidupan keras jalanan Jakarta mengharuskan seseorang untuk berhati-hati.
Derit mesin kereta beradu dengan rel, mengingatkan saya kembali tentang seseorang tadi…


Surabaya, 31 Oktober 2009
Mengenang menuntut ilmu di kota hujan, Bogor Raya
Subandi Rianto

AIDS, Pendidikan Seks dan Norma Agama

AIDS di Indonesia saat ini sudah dipandang sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beragam cara telah ditempuh untuk mengendalikannya, mulai dari sosialisasi penggunaan kondom, konser amal, seminar-seminar pendidikan seks dll. Namun, semua seolah-olah hanya gerakan sporadis yang belum menemukan ruhnya. Tingkat seks bebas yang dibarengi AIDS masih tetap saja tinggi. Bahkan hingga minggu-minggu ini, tingkat penderita seks mulai bergeser dari usia pemuda menuju usia remaja. Budaya seks bebas ternyata tidak mengenal umur, bahkan anak-anak usia produktif pun terancam masa depannya.
Berangkat dari penyakit satu ini, penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sikap pemerintah dan lembaga swadaya hanya sebatas tingkat kuratif saja. Tingkat penyembuhan dan penanganan korban dengan cara melakukan sosialisasi agar penderita tidak dikucilkan dari aktivitas lingkungan masyarakat. Sementara, untuk usaha preventifnya malah jauh dari panggang. Usaha-usaha preventif hanya sebatas menyebar brosur, mengadakan konser amal (yang tentunya hedon) atau malah menyebarkan kondom. Sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan jalurnya.
Bila usaha preventuf agar penyakit HIV-AIDS tidak meledak menjadi Kejadian Luar Biasa, kenapa yang dibagikan adalah kondom? Bukan obat-obatan yang bisa mencegah adanya HIV-AIDS. Saya rasa dengan membagi-bagikan kondom pada tempat yang umum malah akan menambah para penikmat seks bebas. Bayangkan, bila kondom-kondom itu jatuh ke tangan anak-anak muda yang notabene masih labil emosinya. Dengan rasa ingin tahunya yang begitu tinggi. Bukankah mereka juga akan mencoba-coba yang namanya seks bebas?. Lantas, yang terjadi bukan mencegah adanya penderita baru, tapi malah menambahnya.
Kemudian, langkah apa yang tepat untuk menanggulanginya? Jawabannya terletak pada pendidikan seks sejak usia dini (sex education). Namun, yang menjadi catatan adalah pendidikan seks dalam konteks ini tidak dilakukan begitu saja tanpa adanya pegangan yang jelas. Pendidikan seks akan menemukan ruhnya apabila kita satukan dengan norma-norma agama. Agama akan secara jelas mengatur bagaimana tatacara pendidikan dalam seks tersebut secara gamblang dan terperinci. Jadinya, dengan agamalah pendidikan seks bukan sebatas mainan dan bahan lelucon, yang biasanya sangat dinikmati oleh penderita seks bebas.
Langkah nyata pemerintah adalah membenahi pendidikan seks yang ada sekarang. Jangan sampai bola liar bernama sex education ini diumbar kesana-kemari tanpa ada hulu yang jelas. Dalam konteks umum, pendidikan seks hanya dipandang bagaimana cara-cara berhubungan seksual yang bersih dari ancaman virus HIV-AIDS, konteks tersebut biasanya mengacuhkan apakah hubungan seks tersebut legal atau ilegal. Bila pendidikan seks telah disatukan dengan norma-norma agama, maka akan terlihat jelas warnanya. Hitam atau putih akan tampak akibatnya. Agama memberikan panduan bagaimana tatacara berhubungan seksual yang aman dari ancaman virus dengan landasan utama adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan, maka setiap hubungan seksual yang dilakukan tergolong legal. Dan pelakunya akan terikat dengan aturan agama jika Ia melakukan hubungan seks diluar pernikahannya tadi.
Demikian, dengan adanya seks yang sesuai norma agama. Maka wujud penyakit HIV-AIDS akan nyata terlihat segmentasinya. Karena sebagian besar penderita HIV-AIDS adalah orang-orang yang melakukan hubungan seks ilegal, bahkan jika sudah menikah pun pastinya sebelumnya pernah melakukan seks bebas. Belum lagi dengan para remaja kita yang sudah familiar dengan yang namanya pacaran. Berlanjut dari hubungan biasa dan kemudian berakhir dengan hubungan seks bebas yang memang rentan akan penyakit mematikan ini.
Alangkah lebih baiknya lagi, jika para LSM-LSM tidak mengkampanyekan bahaya seks bebas dengan membagi-bagikan kondom di wilayah umum. Manakala kondom tersebut dibagikan di ranah lokalisasi silakan saja, karena hak tersebut ada dalam pemerintah guna menangani para PSK yang terlanjur jatuh ke dalam penyakit tersebut. Dengan membagi-bagikan kondom secara terbuka, maka jangan kaget jika penderita AIDS bukannya turun tapi terus melaju hingga tingkat yang mengkhawatirkan.
Upaya pemerintah pun, baik pemerintah pusat maupun daerah. Hendaknya bekerja lebih intensif sesuai dengan domain mereka. Jika pemerintah pusat bisa memasukkan kurikulum pendidikan seks ada dalam pelajaran agama. Kenapa tidak? Bukannya seks dalam agama bisa diperjelas secara hitam dan putihnya. Untuk pemerintah daerah sendiri, akan lebihnya mengurangi jumlah kondom yang bertebaran guna menjaga jatuhnya kembali korban akan iming-iming mainan sesaat ini. Bahkan bila perlu, kondom hanya akan diperjualbelikan untuk para suami istri yang sah, guna meredam penggunaan kondom yang tidak pada tempatnya.
Terakhir, pemerintah daerah dapat lebih menekan pusat-pusat lokalisasi agar mati secara berangsur-angsur. Contoh kasus adalah penanganan pemkot Surabaya dalam mengawal lokalisasi Kremil menuju kematian. Beragam cara dilakukan agar Kremil berubah status dan pusat lokalisasi bisa dimatikan. Secara preventif, memang para pengguana lokalisasi turun drastis akibat oembatasan penambahan PSK baru. Secara kuratif pun, para ”mantan” PSK tersebut juga dibekali ilmu-ilmu kewirausahaan sebagai bekal hidup selanjutnya. Seperti inilah, langkah konkret pemerintah yang patut dicontoh pemerintah daerah lainnya bahkan LSM-LSM sekalipun yang giat dan fokus akan isu-isu HIV-AIDS.

Belajar Kejujuran dari siapa saja…

Suatu kali dalam perjalanan pulang dari Jakarta menuju Yogyakarta, ketika melewati barisan depan Stasiun Pasar Senen. Saya secara tak sengaja mendengar ucapan seorang tukang taksi kepada seorang temannya. Kalau tidak salah si sopir taksi tadi mengemukan kekhawatirannya apabila harga taksi naik maka konsumen akan pergi. Namun, beberapa temannya malah menyarankan berbohong saja (tidak jujur) kepada para penumpang, alasannya dibuat-buatlah. Namun, diluar dugaan, sang Bapak menggelengkan kepala dan berucap, “Aku ini udah lama di Senen, kalau gak jujur, mana penumpang bisa percaya sama saya. Pokoknya kalau gak jujur bisa hancur”.
Tiba-tiba mengalir setetes es dalam sanubari saya, bagaimana tidak! Di sebuah kota sebesar Jakarta yang penuh dengan individualisme dan kompetitifnya masih ada yang menyadari betapa pentingnya memegang prinsip hidup sebuah kejujuran. Sebuah prinsip hidup yang mahal untuk dipraktekkan, mahal untuk dipegang dengan benar. Karena biasanya manusia lebih suka berbohong demi keuntungan dirinya daripada berbuat jujur dengan apa adanya.
Inilah seperti yang dikatakan Rasulullah, bahwa jika kita berjualan, maka katakanlah barang itu apa adanya. Jika kita berbohong maka tidak akan berkah apa yang kita perjualkan hari itu. Senada dengan firman Allah Swt dalam Al-Qur’an, tentang peringatan agar tidak mengurangi timbangan-timbangan, peringatan untuk berlaku jujur dalam hal jual beli.
Demikianlah, kejujuran memang mahal untuk dipraktekkan. Akan tetapi dari satu hal ini kita bisa mendapatkan sebuah pelajaran dari seorang sopir taksi. Seorang warga kota yang setiap hari harus bangun pagi untuk mengejar setoran, bergelut dengan panas teriknya Kota Jakarta, beradu gerahnya metropolis yang penuh kedengkian dan individualisme. Dari sebuah mutiara kehidupan yang dia pegang hingga di depan stasiun Senen kemarin, semoga beliau tetap Istiqomah dengan jalannya dan semoga Allah menjaganya agar tetap istiqomah. Amien.

Senin, 12 Oktober 2009

I'tikaf Ramadhan di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia-Jakarta


I'tikaf merupakan anjuran dari Rasulullah pada saat sepuluh hari di akhir bulan Ramadhan. bersama dengan beberapa teman2 siswa SMART Ekselensia dan guru-guru. dilaksanakanlah acara I"tikaf yang bertempat di Masjid Baitul Ihsan-Bank Indonesia Jakarta. Ada pengalaman menarik dalam i'tikaf ini, saya bersama dengan teman-teman pada jam 11 malam berkunjung melihat-lihat kondisi Monumen Nasional (MONAS) tepat pada jam-jam malam. dapat dipastikan apa yang terjadi disana...? anda dapat melihatnya sendiri dengan berkunjung ke Monas pada malam hari :-)

SuperCamp di Villa Cipanas bersama Angkatan Pertama SMART Ekselensia


Ini adalah proses training motivasi yang dilakukan sekolah SMART Ekselensia dalam mengokohkan kebersamaan angkatan pertama SMART Ekselensia dalam menjadi alumni kemarin. Dalam berbagai acara tersebut yang dilakukan selama tiga hari di sebuah villa di Cipanas, mereka diberi pembekalan-pembekalan seputar kebersamaannya sebagai sebuah angkatan yang berpadu. Kini, setelah kita menjadi alumni, kita masih sering bersama dalam berbagai komunikasi baik via sms, telp maupun facebook an. smoga kebersamaan ini terus terjaga hingga akhir hayat nanti...
written by:
subandi rianto (alumni SMART)

Rihlah Mentoring di Puncak Bogor-Jawa Barat 2008


Merupakan rihlah yang mengasyikkan bagi kelompok mentoring saya bersama Ust. Amru Asykari, menyusuri kawasan Puncak Bogor yang "dingin" serta sholat sejenak di Masjid At-Ta'awun yang meninggalkan kenangan bagi kami yang mendalam. Sekarang anggota kelompok mentoring ini telah tersebar di seluruh Indonesia. Ada yang di Surabaya, Medan, Bandung, Jakarta serta Makassar. Semoga semangat jihad anggota mentoring ini tetap bersemayam di hati mereka semua hingga kapanpun...

written by: subandi rianto (alumni SMART)

Nice Trip ke Taman Bunga Nusantara-Cipanas


Bersama dengan dewan guru SMART Ekselensia, rombongan siswa angkatan pertama SMART Ekselensia mengadakan nice trip ke Taman Bunga Nusantara-Cipanas dalam rangka memberikan kesegaran sebelum diadakannya Ujian Nasional SMP. Alhamdulillahnya, dengan adanya refreshing sebelum ujian nasional SMP. Nilai-nilai UN kami menjadi tinggi... bahkan ada yang mencapai nilai 10 pada mata pelajaran matematika.

Written by:
subandi rianto (Alumni SMART)

Jumat, 09 Oktober 2009

Delegasi Pesta Sains IPB dari SMA SMART Ekselensia tahun 2006


Merupakan kehormatan bagi saya yang saat itu ditunjuk menjadi salah satu delegasi SMA SMART EI untuk Pesta Sains IPB 2006 bidang Biologi, sesungguhnya hal itu merupakan tindaklanjut dari keberhasilan saya menjuarai 2st Olimpiade MIPA Biologi se-Kab. Bogor 2006 dan Enrichment saya di bidang Biologi, yang sesungguhnya saya adalah siswa di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Walaupun tidak mendapat apa-apa, tapi kami tetap bangga bisa menjadi delegasi "PERTAMA" dari sekolah yang baru berumur dua tahun.
Walhasil sekarang kami semua telah menjadi alumni (alumni pertama juga) yang mencengkeram pulau Jawa.
dari kiri ke kanan:
Fathul Ali: delegasi KIMIA: Sekarang kuliah di PWK ITS
Abdul Qodir: delegasi KIMIA: Sekarang kuliah di Teknik Perkapalan UI
Yazid Ridla: delegasi MATEMATIKA: sekarang kuliah di Teknik Oseanografi ITB
Mahbubi: delegasi BIOLOGI: sekarang kuliah di PPLN STAN
Ryanto: delegasi FISIKA: sekarang kuliah di FKM UI
Muh. Husein: delegasi BIOLOGI: sekarang kuliah di Sistem Informasi UI
Subandi Rianto: delegasi BIOLOGI: sekarang kuliah di Ilmu Sejarah UNAIR

Walaupun kemudian saya kuliah di jurusan yang beda dengan basic saya dulu, tapi saya sadari bahwa ilmu saya dulu tetap berguna untuk mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar yang tak jauh juga dari BIOLOGI....Demikian hukum Allah Swt, bahwa tiada ilmu yang sia-sia di bumi ini.

wriiten by:
subandi rianto (alumni SMART angkatan pertama)

Bakti Sosial di sekeliling masjid-masjid Kab. Bogor-2007


Dengan mengucap puji syukur kepada Allah Swt, team relawan bakti sosial Sekolah SMART tahun 2007 berangkat untuk membersihkan dan mengecat ulang beberapa masjid di sekitar kawasan sekolah SMART EI. Dengan agenda menginap di masjid yang bersangkutan (mabit) selama beberapa hari untuk lebih fokus pada bakti sosialnya. Sekolah SMART EI juga menghibahkan beberapa sajadah dan al-qur'an untuk kemaslahatan warga sekitar masjid. Harapannya tali silaturahmi ini dapat mengeratkan antara lembaga Sekolah SMART Ekselensia dengan warga Jampang-Bogor.

written by:
subandi rianto (alumni SMART EI angkatan pertama)

Islamic Youth Camp 2005, di Bumi Pengembangan Insani-Bogor


Ini merupakan program yang sangat bagus untuk menyambung tali silaturahmi antara siswa sekolah SMART EI Parung-Bogor dengan semua siswa SMA se-kabupaten Bogor. Beragam acaranya yang berorientasi pada leadership, kebersamaan dan kerjasama kelompok.
Kini, setelah beberapa tahun berlalu, sekolah SMART yang dulu masih muda...sekarang sudah mempunyai alumni pertamanya yang tersebar di seluruh perguruan tinggi ternama di Indonesia di berbagai provinsi.

written by:
subandi rianto (alumni pertama SMA SMART EI-BOGOR TAHUN 2009)