Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Senin, 18 Januari 2010

Moralitas Generasi Muda yang Bobrok…

Program Menteri Pendidikan Nasional yang baru, Muhammad Nuh untuk memasukkan teknologi dalam sistem pendidikan merupakan langkah inovatif. Langkah yang berguna untuk memajukan kompetisi pendidikan dalam Informasi dan Teknologi. Nah, ada baiknya sebelum pemerintah mengkonversikan dunia pendidikan menjadi berteknologi. Mental-mental generasi muda kitalah yang harus diperbaiki dahulu.
Sangat mengenaskan, ketika saya sebagai seorang mahasiswa di sebuah universitas Jawa Timur. Seringkali menyaksikan adanya penyalahgunakan teknologi di ranah pendidikan di provinsi paling timur pulau Jawa ini. Bayangkan saja, mulai dari video mesum para siswa SMA hingga soal naskah ujian yang cabul. Yang menjadi pertanyaan bagi kita, akan dibawa kemana pendidikan bangsa ini?.
Hampir sebulan ini, peristiwa-peristiwa bekisar video cabul atau video mesum sering menghiasai wajah media massa Jawa Timur. Bukan bermaksud etnosentris terhadap sebuah provinsi, tapi yang sangat saya sayangkan adalah jeda waktunya. Kasus itu beruntun dari kota ke kota yang mayoritas di provinsi para “santri” hanya hitungan bulan. Mulai yang dilakukan siswa-siswa SMA di sebuah kos, di sekolah maupun di sebuah universitas Islam ternama.
Mayoritas video-video semacam itu direkam menggunakan kamera handphone, dan disebar antar siswa untuk ditonton bersama-sama. Ini baru teknologi yang dikatakan masih massif antar personal saja. Nah, bagaimana jika anak-anak yang masih latah akan teknologi diberi “mainan” internet di setiap sekolah mereka, jikalau pembekalan “teknologi internet” tidak dibarengi dengan pembekalan moral. Niscaya hanya butuh beberapa tahun saja, bangsa ini akan seperti bangsa barat yang doyan akan video-video porno.
Bayangkan saja, jika kasus pembuatan video mesum oleh generasi muda bisa diupload ke internet. Akan geger semua para petinggi negeri ini. Salah satu cara menangkalnya adalah membekali mereka akan moralitas bijak menggunakan teknologi. Melarang generasi muda menggunakan teknologi merupakan kesalahan fatal bagi kemajuan bangsa, tapi membiarkan mereka “bermain” teknologi tanpa ada pembekalan moral malah lebih fatal bagi kemajuan bangsa. Bangsa ini tidak akan jadi maju.
Merefleksi dari program baru Mendiknas Muhammad Nuh, adalah agar pendidikan moral penggunaan teknologi juga disisipkan. Seiring dengan pengkonversian pendidikan Indonesia menuju dunia teknologi.

Hari Guru dan Kondisi Pendidikan Kita

Beberapa hari yang lalu, tanggal 25 November 2009 merupakan hari yang bersejarah bagi para pendidik negeri ini. Karena pada hari itu, merupakan hari Guru nasional. Sebuah hari yang istimewa untuk merefleksikan kembali peran guru dalam peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Walaupun pemerintah pusat sudah menaikkan anggaran pendidikan hingga 20% pada APBN tahun 2009 dan yang akan datang. Hal tersebut tidak bisa menjadi jaminan kuat akan semakin baiknya pendidikan kita.

Seseorang Termenung

Seperti biasanya, saat saya bersama teman-teman hendak pulang kampung dari Bogor ke Yogyakarta. Selalu lewat Stasiun Pasarsenen-Jakarta. Dari sanalah kereta akan melaju menuju stasiun berikutnya di sekitar Jakarta. Antara lain, Jatinegara, Bekasi dan Karawang hingga seterusnya. Suatu hari saat kereta dari Pasar Senen berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 06:15. Keadaan stasiun masih agak gelap dengan remang-remang cahaya lampu pijar.
Dipagi buta, dengan perlahan, Kereta Fajar Utama bergerak meninggalkan Jakarta. Sesaat keadaan malam Jakarta yang berubah siang terlihat dengan jelas. Warung-warung malam mulai berbenah bersih-bersih. Lampu-lampu rumah emperan rel kereta mulai dimatikan, menggeliat bangun sang penghuninya. Jalan-jalan sekitar rel mulai ramai oleh pemulung, pencari beling, pencari plastic, pengemis serta pencari nafkah lainnya.
Sejenak kehidupan pagi beberapa stasiun juga terekam. Banyak petugas menyapu sampah-sampah bekas penumpang tadi malam, pedagang mulai merapikan dagangannya menghadapi pagi yang berbeda, beberapa orang lalu-lalang sambil merokok –dari penampilannya mengesankan seperti preman-, serta loper-loper koran yang beranjak menawarkan Koran pagi Jakarta. Entah Warta Kota atau Pos Kota, dua-duanya sama-sama laku.
Ketika kereta melewati sebuah stasiun, melambat dengan perlahan-lahan. Pandangan saya tertuju pada sebuah tulisan besar “Stasiun Jatinegara”. Ah… teringat kawan saya orang Bogor yang pernah memberitahu sedikit nasihat mengenai satu stasiun ini. Ini adalah salah satu stasiun paling rawan di Jakarta. Katanya seringkali pencopetan dan perampokan mengintai penumpang d setiap sudut stasiun. Keadaan stasiun yang sedikit muram, semuram cerita kawan saya tadi memberikan kesan bahwa stasiun ini benar-benar “rawan”.
Di sebuah ujung peron yang hampir kotor oleh kaki-kaki penumpang, seseorang dengan memegang bungkus es terlihat duduk jongkok merenung. Memandangi garis-garis rel kereta. Tatapannya kosong menyimpan misteri. Muram. Serta menyiratkan penyesalan. Sejenak Ia mengambil nafas menyedot habis udara pagi Jatinegara. Sedetik kemudian pandangannya dialihkan ke pelataran stasiun yang mulai ramai oleh penumpang dan pedagang. Garis-garis wajahnya masih menyiratkan kekosongan. Entah, apakah Ia menanti sesuatu atau telah terjadi sesuatu pagi itu.
Fajar Utama kembali bergerak, Pikiran saya berkecamuk akan seseorang tadi, apakah yang terjadi dengannya? Beribu kemungkinan menghinggapi kepala saya hingga kereta beranjak keluar dari garis batas ibukota menuju Bekasi. Apakah ia sedang ada masalah dengan pikirannya, atau Ia menjadi korban pencopetan pagi itu?. Semestinya tidak, karena penampilannya layaknya penghuni sekitar stasiun. Tapi yang terngiang kembali adalah, apakah hingga sepagi itu Ia bekerja di stasiun belum mendapatkan sepeser uang pun? Sementara istri dan anaknya masih menunggu di rumah.
Berrrr, bergetar hati saya melihat sekilas keadaan tadi. Semoga saja tidak ada apa-apa dengan seseorang tadi. Memang kehidupan keras jalanan Jakarta mengharuskan seseorang untuk berhati-hati.
Derit mesin kereta beradu dengan rel, mengingatkan saya kembali tentang seseorang tadi…


Surabaya, 31 Oktober 2009
Mengenang menuntut ilmu di kota hujan, Bogor Raya
Subandi Rianto

AIDS, Pendidikan Seks dan Norma Agama

AIDS di Indonesia saat ini sudah dipandang sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beragam cara telah ditempuh untuk mengendalikannya, mulai dari sosialisasi penggunaan kondom, konser amal, seminar-seminar pendidikan seks dll. Namun, semua seolah-olah hanya gerakan sporadis yang belum menemukan ruhnya. Tingkat seks bebas yang dibarengi AIDS masih tetap saja tinggi. Bahkan hingga minggu-minggu ini, tingkat penderita seks mulai bergeser dari usia pemuda menuju usia remaja. Budaya seks bebas ternyata tidak mengenal umur, bahkan anak-anak usia produktif pun terancam masa depannya.
Berangkat dari penyakit satu ini, penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sikap pemerintah dan lembaga swadaya hanya sebatas tingkat kuratif saja. Tingkat penyembuhan dan penanganan korban dengan cara melakukan sosialisasi agar penderita tidak dikucilkan dari aktivitas lingkungan masyarakat. Sementara, untuk usaha preventifnya malah jauh dari panggang. Usaha-usaha preventif hanya sebatas menyebar brosur, mengadakan konser amal (yang tentunya hedon) atau malah menyebarkan kondom. Sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan jalurnya.
Bila usaha preventuf agar penyakit HIV-AIDS tidak meledak menjadi Kejadian Luar Biasa, kenapa yang dibagikan adalah kondom? Bukan obat-obatan yang bisa mencegah adanya HIV-AIDS. Saya rasa dengan membagi-bagikan kondom pada tempat yang umum malah akan menambah para penikmat seks bebas. Bayangkan, bila kondom-kondom itu jatuh ke tangan anak-anak muda yang notabene masih labil emosinya. Dengan rasa ingin tahunya yang begitu tinggi. Bukankah mereka juga akan mencoba-coba yang namanya seks bebas?. Lantas, yang terjadi bukan mencegah adanya penderita baru, tapi malah menambahnya.
Kemudian, langkah apa yang tepat untuk menanggulanginya? Jawabannya terletak pada pendidikan seks sejak usia dini (sex education). Namun, yang menjadi catatan adalah pendidikan seks dalam konteks ini tidak dilakukan begitu saja tanpa adanya pegangan yang jelas. Pendidikan seks akan menemukan ruhnya apabila kita satukan dengan norma-norma agama. Agama akan secara jelas mengatur bagaimana tatacara pendidikan dalam seks tersebut secara gamblang dan terperinci. Jadinya, dengan agamalah pendidikan seks bukan sebatas mainan dan bahan lelucon, yang biasanya sangat dinikmati oleh penderita seks bebas.
Langkah nyata pemerintah adalah membenahi pendidikan seks yang ada sekarang. Jangan sampai bola liar bernama sex education ini diumbar kesana-kemari tanpa ada hulu yang jelas. Dalam konteks umum, pendidikan seks hanya dipandang bagaimana cara-cara berhubungan seksual yang bersih dari ancaman virus HIV-AIDS, konteks tersebut biasanya mengacuhkan apakah hubungan seks tersebut legal atau ilegal. Bila pendidikan seks telah disatukan dengan norma-norma agama, maka akan terlihat jelas warnanya. Hitam atau putih akan tampak akibatnya. Agama memberikan panduan bagaimana tatacara berhubungan seksual yang aman dari ancaman virus dengan landasan utama adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan, maka setiap hubungan seksual yang dilakukan tergolong legal. Dan pelakunya akan terikat dengan aturan agama jika Ia melakukan hubungan seks diluar pernikahannya tadi.
Demikian, dengan adanya seks yang sesuai norma agama. Maka wujud penyakit HIV-AIDS akan nyata terlihat segmentasinya. Karena sebagian besar penderita HIV-AIDS adalah orang-orang yang melakukan hubungan seks ilegal, bahkan jika sudah menikah pun pastinya sebelumnya pernah melakukan seks bebas. Belum lagi dengan para remaja kita yang sudah familiar dengan yang namanya pacaran. Berlanjut dari hubungan biasa dan kemudian berakhir dengan hubungan seks bebas yang memang rentan akan penyakit mematikan ini.
Alangkah lebih baiknya lagi, jika para LSM-LSM tidak mengkampanyekan bahaya seks bebas dengan membagi-bagikan kondom di wilayah umum. Manakala kondom tersebut dibagikan di ranah lokalisasi silakan saja, karena hak tersebut ada dalam pemerintah guna menangani para PSK yang terlanjur jatuh ke dalam penyakit tersebut. Dengan membagi-bagikan kondom secara terbuka, maka jangan kaget jika penderita AIDS bukannya turun tapi terus melaju hingga tingkat yang mengkhawatirkan.
Upaya pemerintah pun, baik pemerintah pusat maupun daerah. Hendaknya bekerja lebih intensif sesuai dengan domain mereka. Jika pemerintah pusat bisa memasukkan kurikulum pendidikan seks ada dalam pelajaran agama. Kenapa tidak? Bukannya seks dalam agama bisa diperjelas secara hitam dan putihnya. Untuk pemerintah daerah sendiri, akan lebihnya mengurangi jumlah kondom yang bertebaran guna menjaga jatuhnya kembali korban akan iming-iming mainan sesaat ini. Bahkan bila perlu, kondom hanya akan diperjualbelikan untuk para suami istri yang sah, guna meredam penggunaan kondom yang tidak pada tempatnya.
Terakhir, pemerintah daerah dapat lebih menekan pusat-pusat lokalisasi agar mati secara berangsur-angsur. Contoh kasus adalah penanganan pemkot Surabaya dalam mengawal lokalisasi Kremil menuju kematian. Beragam cara dilakukan agar Kremil berubah status dan pusat lokalisasi bisa dimatikan. Secara preventif, memang para pengguana lokalisasi turun drastis akibat oembatasan penambahan PSK baru. Secara kuratif pun, para ”mantan” PSK tersebut juga dibekali ilmu-ilmu kewirausahaan sebagai bekal hidup selanjutnya. Seperti inilah, langkah konkret pemerintah yang patut dicontoh pemerintah daerah lainnya bahkan LSM-LSM sekalipun yang giat dan fokus akan isu-isu HIV-AIDS.

Belajar Kejujuran dari siapa saja…

Suatu kali dalam perjalanan pulang dari Jakarta menuju Yogyakarta, ketika melewati barisan depan Stasiun Pasar Senen. Saya secara tak sengaja mendengar ucapan seorang tukang taksi kepada seorang temannya. Kalau tidak salah si sopir taksi tadi mengemukan kekhawatirannya apabila harga taksi naik maka konsumen akan pergi. Namun, beberapa temannya malah menyarankan berbohong saja (tidak jujur) kepada para penumpang, alasannya dibuat-buatlah. Namun, diluar dugaan, sang Bapak menggelengkan kepala dan berucap, “Aku ini udah lama di Senen, kalau gak jujur, mana penumpang bisa percaya sama saya. Pokoknya kalau gak jujur bisa hancur”.
Tiba-tiba mengalir setetes es dalam sanubari saya, bagaimana tidak! Di sebuah kota sebesar Jakarta yang penuh dengan individualisme dan kompetitifnya masih ada yang menyadari betapa pentingnya memegang prinsip hidup sebuah kejujuran. Sebuah prinsip hidup yang mahal untuk dipraktekkan, mahal untuk dipegang dengan benar. Karena biasanya manusia lebih suka berbohong demi keuntungan dirinya daripada berbuat jujur dengan apa adanya.
Inilah seperti yang dikatakan Rasulullah, bahwa jika kita berjualan, maka katakanlah barang itu apa adanya. Jika kita berbohong maka tidak akan berkah apa yang kita perjualkan hari itu. Senada dengan firman Allah Swt dalam Al-Qur’an, tentang peringatan agar tidak mengurangi timbangan-timbangan, peringatan untuk berlaku jujur dalam hal jual beli.
Demikianlah, kejujuran memang mahal untuk dipraktekkan. Akan tetapi dari satu hal ini kita bisa mendapatkan sebuah pelajaran dari seorang sopir taksi. Seorang warga kota yang setiap hari harus bangun pagi untuk mengejar setoran, bergelut dengan panas teriknya Kota Jakarta, beradu gerahnya metropolis yang penuh kedengkian dan individualisme. Dari sebuah mutiara kehidupan yang dia pegang hingga di depan stasiun Senen kemarin, semoga beliau tetap Istiqomah dengan jalannya dan semoga Allah menjaganya agar tetap istiqomah. Amien.