Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Rabu, 20 April 2011

Keistimewaan Jogja dalam Analisa Sejarah dan Filsafat

Oleh: Subandi Rianto

“Menjelaskan sebuah konsep tata kenegaraan dan tata pemerintahan, maka perlu dipertimbangkan sebuah fakta historis dan sosiologis daerah tersebut”. Demikian pendapat beberapa sejarawan, termasuk Aswi Warman Adam ketika menanggapi masalah kesistimewaan Jogja. Beliau lebih menekankan bahwa Jogja mendapat predikat “istimewa” bukan semata-mata untuk “dilebihkan” atas provinsi lain. Melainkan sebuah penghargaan atas perjuangan masyarakat Jogja yang mendukung republik Indonesia pada masa kolonial Belanda. Terlebih pengorbanan besar Sri Sultan Hamengkubuwono IX.



Polemik status keistimewaan Jogja memang tidak lepas dari adanya kepentingan politik. Hingga hari ini kita bisa melihat, bagaimana proses negosiasi alot antara DPD RI, DPR RI dan Mendagri sebagai perwakilan pemerintah. Negosiasi tersebut sudah sangat alot sejak masih wacana dan memang semakin alot ketika bersidang di gedung dewan. Masyarakat Jogja pun juga mengekspresikan aspirasinya dengan beberapa kali mengadakan aksi dengan menawarkan konsep referendum.
Berbicara lebih luas mengenai tata kenegaraan di Jogja, memang akan masuk ke dalam ranah pembagian kekuasaan secara politis. Dimana beberapa orang masih memandang kepemimpinan Sultan di Jogja merupakan representasi adanya jiwa feodalisme. Sesuatu yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Antropolog Cornell University, Benedict Andersen dalam sebuah wawancara dengan Tempointeraktif (Desember 2010) memandang bahwa kepemimpinan Sultan di Jogja bisa menimbulkan harapan serupa (iri) kepada raja-raja daerah lain untuk memegang kekuasaan secara politis. Sayangnya, Indonesianis ini sama seperti indonesianis-indonsianis lainnya yang memandang sebuah fakta historis dan sosiologis dari kacamata barat. Pastinya, Benedict Andersen memberikan pandangan tersebut karena menganggap sistem kesultanan di Jogja tidak bisa memberikan iklim politik dan budaya yang sehat. Sepaham dengan indonesianis lainnya, Ia akan menganjurkan sistem demokrasi yang secara teoritis dan beberapa prakteknya mampu memberikan kenyamanan. Dimana rekomendasi ini disuarakan sama oleh politisi kita di Jakarta.
Lebih jauh dari sekedar wawancara Benedict Andersen. Semua orang memandang bahwa sistem demokrasi dengan pemilihan langsung adalah konsep pemerintahan modern. Dimana sistem tersebut bisa menjamin adanya iklim politik yang sehat dan dewasa. Walaupun dalam prakteknya memang tidak selalu. Demokrasi pemilihan langsung bahkan mempelopori adanya kecurangan pemilu hingga munculnya politik uang. Alasan terakhir inilah yang mendasari kenapa masyarakat Jogja menolak adanya pemilihan langsung terhadap gubernur (dalam RUUK DIY). Masyarakat pesimis demokrasi pemilihan langsung dapat menjamin harmonisasi kerukunan umat beragama dan suku yang ada di Jogja. Sementara, kerukunan tersebut sudah terbangun dan mengakar selama berpuluh-puluh tahun di bawah kepemimpinan Kesultanan Jogja.
Disinilah pendapat-pendapat para sejarawan manjur dijadikan analisa. Menengok aspek sosiologis masyarakat Jogja yang sudah terbiasa hidup rukun dan harmonis secara plural. Hendaknya menjadi pertimbangan pemerintah. Kehidupan tersebut memang diatur oleh sistem Keistimewaan DIY yang dikawal oleh Kesultanan dan Pakualaman. Masyarakat hidup secara plural karena diajarkan untuk saling toleransi. Ada banyak suku dan agama yang mendiami Jogja secara tenang. Bahkan, Jogja menjadi kota terbanyak pemilik asrama mahasiswa se-nusantara. Karena mayoritas pelajar mahasiswa di Jogja adalah masyarakat Sabang sampai Merauke.
Secara historis pun, masyarakat sudah paham benar. Bahwa perjuangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa kolonial perlu dihargai. Beliau menolak iming-iming Belanda untuk menjadi raja Jawa dengan tambahan wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, asalkan tidak mendukung Republik Indonesia. Bahkan, secara tegas ketika Indonesia masih muda dalam balutan proklamasi. Beliau bersama Paku Alam VIII menyerukan Amanat 5 September 1945 untuk bergabung bersama Negara Republik Indonesia. Tidak hanya itu saja, ketika agresi militer Belanda I berhasil merebut Jakarta. Sultan HB IX menganjurkan agar pusat pemerintahan dipindahkan ke Jogja. Akhirnya sejarah mencatat bahwa Jogja menjadi kota perjuangan untuk merebut kedaulatan Negara Indonesia yang dulu telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Kembali kepada sistem ketatanegaraan modern yang didengungkan para ahli politik, Bahwasanya sistem pemilu langsung dapat menjadi jembatan keadilan masyarakat Jogja secara ekonomi dan politik. Sepertinya mereka lupa ketika beberapa puluh tahun lalu, sepotong ilmu filsafat menolak adanya konsep modernitas dalam dunia ketatanegaraan. Filsafat menggarisbawahi bahwa modernitas belum berakhir begitu saja, sehingga masih ada penyempurnaan yang disebut post-modern. Dari sanalah sebuah konsep ketatanegaraan yang dinamakan modern belum berakhir. Jika demokrasi pemilu langsung dikatakan modern, maka selebihnya pasti ada penyempurnaannya.
Begitu juga dalam proses pembagian kekuasaan dari pusat (Jakarta) kepada daerah-daerah. Ketika dulu masyarakat memandang bahwa pembagian kekuasaan melalui sistem sentralisasi adalah yang terbaik (modern). Namun, tak sampai beberapa tahun, gejolak keributan dari daerah memaksa Jakarta untuk merombak sistem tersebut menjadi desentralisasi (otonomi daerah). Muncul pula referendum sistem syariah Islam untuk Provinsi Aceh dan Otonomi Khusus putra daerah untuk Papua. Kesemuanya menunjukan bahwa sistem yang dianggap modern belum bisa menuntaskan permasalahan yang ada. Apalagi ketika memandang kekuasaan politik di Jogjakarta. Tidak selebihnya benar ketika politisi mengatakan bahwa demokrasi sistem langsung adalah yang terbaik untuk Jogja, dengan alasan sistemnya lebih modern. Anggapan lainnya bahwa sistem kesultanan di Jogja adalah kuno dan tidak sesuai konsepsi kenegaraan pancasila. Mereka sepertinya lupa bahwa Pancasila menghormati kultur-kultur daerah. Sepenuhnya lagi lupa bahwa post-modern berawal dari ketidaksepakatan (non-konsepsi) yang merombak sistem kaku dan pakem seperti sistem modern. Modern dianggap kaku karena sesuatu harus selaras dan sewarna. Semuanya harus sesuai sistem. Sementara post-modern bergerak jauh kedepan, bahwa semua bisa saja beda dan semua kebenaran ada di mana saja. Begitulah dengan keistimewaan Jogja, pemerintah tidak usah menyeragamkan konsep modern ke dalam tata kenegaraan Jogja. Karena masyarakatnya sudah jauh belajar mengenai konsep modern (demokrasi) dan kini mereka sedang dalam kesejahteraan menuju post-modern. Seperti kata Daud Joesoef, Mantan Mendikbud RI. “Bahwa mengajari orang Jogja untuk ber-demokrasi itu, seperti mengajari ikan berenang”. Mereka sudah tahu caranya berenang di air. (Subandi Rianto, Student History of Science Department, Faculty of Humanities, Airlangga University).

Tidak ada komentar: