Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Rabu, 09 Juni 2010

“The Crescent in The East : Islam in Asia Mayor” BAB Muhammadiyah in Minangkabau dan The Relationship between Muhammadiyah in Java and Minangkabau.

Awal-awal tahun 1925, seorang guru agama dari Sumatra (Minangkabau), Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) mengunjungi komunitas penjual batik dari Minangkabau yang bermukim di daerah jawa tepatnya di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Beliau sangat terkejut dengan perkembangan organisasi islam Muhammadiyah yang dipimpin oleh saudara iparnya tersebut. Dari Kota Pekalongan, beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kota Yogyakarta. Disana beliau bertemu dengan anggota dan pimpinan Muhammadiyah pusat, serta mengunjungi beberapa sekolah/madrasah yang dikelola oleh Muhammdiyah. Haji Rasul kemudian kembali ke Sumatera dan terinspirasi untuk membentuk sebuah organisasi di kota asalnya tersebut. Dimana dengan sebelumnya Haji Rasul pernah terlibat dalam pergerakan perhimpunan pelajar Sumatra (Sumatara Thawalib/ Sumatra Student Association) dan kemudian diinfiltrasi oleh pengaruh-pengaruh komunis.
Haji Rasul kemudian membangun sebuah perubahan dalam organisasi-organisasi pendidikan seperti Sandi Aman (Pusat Kedamaian) yag beliau dirikan di Sungai Batang, sebagai representasi dari cabang Muhammadiyah di Sumatra. Meskipun Sandi Aman secara ideologi dan pandangan sejalan dengan pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Namun dikemudian hari sejarah mencatat bahwa Sandi Aman berkembang berbeda dari organisasi induknya.



Sekali didirikan di Sumatra, Muhammadiyah berkembang dengan pesatnya. Hal itu karena begitu konsep ke-Muhammadiyah-an dibumikan di Sumatra, dengan segera beberapa organisasi sayapnya juga turut berdiri. Antara lain Hizbul Wathan (organisasi kepemudaan dan kepanduan) dan Aisyiyah (organisasi keputrian) yang didirkan oleh putri Haji Rasul sepulang dari Jawa. Secara luar biasa kemudian, anggota Muhammadiyah cabang Sumatra naik drastis dari sebelumnya. Itu terlihat dari Kongres XIX Muhammadiyah di Sumatra Barat, Kota Bukit Tinggi pada tahun 1930. Fort de Kock memperkirakan anggota Muhammadiyah yang hadir antara kisaran 15.000 hingga 20.000 orang.
Kongres tersebut juga membuat Muhammadiyah cabang Sumatra sebagai organisasi pergerakan sosial-keagaamaan, terutama para guru-guru agama menumpahkan kritik terhadap cabang jawa lainnya agara tidak membuka kerjasama dengan kaum kafir (penjajah).
Kesimpulan daripada kongres tersebut mengerucut pada penyikapan aturan kolonial terhadap daerah, yaitu jika siapa saja memberikan dukungan terhadap Muhammadiyah (khususnya cabang Sumatra), maka pusat akan mengalami tekanan yang luar biasa untuk mengingatkan cabangnya tersebut agar kembali pada jalan yang “benar”.
Sutan Mas Mansur akhirnya dikirim dari Jawa untuk mereformasi Muhammadiyah cabang Sumatra tersebut. Dengan misinya membuat politik Muhammadiyah Cabang Sumatra sama dengan induknya. Yaitu berpolitik netral terhadap pemerintahan kolonial.
Akhirnya beberapa element kemasyarakatan yang berpolitik radikal atau Muhammadiyah yang berhaluan kiri secara massif menggabungkan diri dengan dua partai yang kemudian berkembang di Sumatra Barat. Yaitu Perhimpunan Muslimin Indonesia (Permi) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).















The Relationship between Muhammadiyah in Java and Minangkabau

Cabang-cabang Muhammadiyah di Jawa dan Sumatra secara keseluruhan mempunyai kesamaan ideology. Yaitu percaya kepada tuhan (Allah) serta memberikan promosi tentang konsep Islam yang ideal dalam kehidupan sosial dan pendidikan masyarakat. Mereka juga membangun rasa persatuan antar etnis dan golongan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Membangun kepercayaan bahwa persatuan antar mereka akan membawa manfaat yang besar dalam melawan pemerintahan kolonial. Yaitu untuk mengubah keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang masih kurang baik.
Cabang-cabang tersebut juga sama-sama mencari inspirasi dari adanya pergerakan pembaharuan Islam yang dimotori oleh Guru Syekh Muhammad Abduh dan pergerakan pembaharuan Mesir. Hal inilah yang kemudian menyebabkan mereka lebih dekat kepada para pemimpin mereka yang reformis di Jawa, serta petinggi lainnya di Minangkabau. Hingga kemudian pergerakan reformasi antar cabang dapat membuat cabang lainnya mengikuti. Perlahan tapi pasti rasa persatuan dan kesatuan mulai terbentuk di kemudian hari.
Sayangnya, karena berada dalam daerah yang berbeda. Maka antara Jawa dan Minangkabau terjadi perbedaan perkembangan organisasi. Di Jawa, Muhammadiyah berkembang bersamaan dengan organisasi lainnya. Yaitu Sarekat Islam, Budi Utomo dan beberapa organisasi lainnya. Meskipun begitu Muhammadiyah ternyata digerakkan oleh orang-orang yang tidak begitu objektif. Yaitu mereka yang berhaluan Marxis dan Nasionalis. Hingga hal tersebut membuat kondisi internal tidak begitu baik karena perbedaan pendapat yang terlalu tinggi. Akhirnya Muhammadiyah Jawa hanya menjadi organisasi sosial relegius yang tidak berpolitik praktis karena tensi internalnya tersebut.
Pertumbuhan pergerakan lainnya juga menjadi saingan tersendiri bagi Muhammadiyah Jawa, antara lain pergerakan Misionaris Protestan dan Katolik yang dimana hal ini (pergerakan Protestan dan Katolik) jarang terjadi di daerah Minangkabau).
Ada sekitar tujuh faktor yang membuat Muhammadiyah Minangkabau berkembang dan digerakkan oleh masyarakatnya sendiri pada akhir tahun 1920. Yaitu infiltrasi komunis terhadap Sumatra Thawalib membuat beberapa elemen masyrakat yang tidak sehaluan keluar dan bergabung dengan Muhammadiyah. Begitu juga dengan bergabungnya beberapa pemuda anti komunis serta anti pemerintahan dengan Muhammadiyah . Hal inilah yang melatarbelakangi perkembangan pesatnya Muhammadiyah Sumatra ketika Kongres XIX di Bukit Tinggi.
Namun secara perlahan-lahan faktor yang membuat Muhammadiyah Sumatra berkembang ini juga ditekan karena reaksi Pemerintahan Kolonial akan perkembangan Muhammadiyah Sumatra yang membahayakan tersebut. Dan lewat tekanan terhadap induknya di Jawa lah, konsiprasi Pemerintahan Kolonial berhasil. Hingga tekanan yang begitu kuat tersebut membuat Muhammadiyah Sumatra mengalami penurunan dan para kadernya akhirnya berpindah organisasi yang baru lahir. Perhimpunan Muslim Indonesia (Permi).
Berbeda dengan di Jawa, Muhammadiyah mengalami kesuksesan. Akan tetapi bukan kesuksesan karena konsolidasi organisasinya. Melainkan keeksisannya para kader (anggota) Muhammadiyah di organisasi-organisasi pergerakan lainnya seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam. Hal yang meningkatkan daya tawar Muhamadiyah Jawa terhadap pemerintahan kolonial. Sehingga, dengan sistem seperti itulah Muhammadiyah konsisten mendengungkan persatuan antara umat dan etnis di Hindia Belanda guna mengakhiri penjajahan dan memulai hidup baru.

Tidak ada komentar: