Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Rabu, 24 November 2010

Dolly dan Penyakit Masyarakat

Menjadi sebuah pertanyaan dialektis ketika kita semua menyikapi pemkot yang berencana “menertibkan” dolly lebih teratur. Bila dilihat secara norma-norma sosial maka lokalisasi adalah sebuah penyakit masyarakat. Namun, untuk mewadahi “hasrat” beberapa masyarakat yang kelewat besar, lokalisasi adalah tempat terbaik. Ranah persoalan ini menjadi semakin rancu manakala dibawa dalam diskusi logika. Bagaimana bisa? Seumpama seperti ini, manakala lokalisasi tetap ada, maka kejahatan pemerkosaan di Surabaya bisa diminimalisir. Sementara jika rencana lokalisasi Dolly akan ditutup, bukan tidak mungkin kriminalitas pemerkosaan akan kembali naik. Bukan tidak mungkin gadis-gadis yang berkeliaran di malam hari menjadi korban? Bukan tidak mungkin akan semakin banyak para suami selingkuh dan akhirnya berujung kepada tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian,



Mungkin permasalahan dialektis seperti inilah yang dirasakan Tri Rismaharini sebagai Walikota Surabaya. Kenapa beliau tidak setegas Sukarwo yang segera “menutup” Dolly. Ada banyak faktor yang berubah manakala Dolly ditutup, begitulah efek selanjutnya. Tri Rismaharini mungkin punya strategi sendiri untuk mengawasi Dolly dengan lebih ketat. Semisal dengan usulan pemasangan CCTV kemarin, dan berlanjut pada hal-hal teknis di kemudian hari. Namun, apapun perkembangan rencana Tri Rismaharini, cepat atau lambat Dolly akan mengalami senjakala dalam perjalanan hidupnya. Sama, seperti di atas, ada banyak faktor yang dipertimbangkan kenapa Dolly perlu ditutup.
Sejatinya rencana besar Sukarwo dan Tri Rismaharini “menertibkan” Dolly perlu didukung segenap masyarakat Surabaya dari berbagai lapisan. Ingat sebagian besar latar belakang PSK adalah korban-korban pacaran. Dimana mereka merasa ternoda oleh perbuatan pacarnya dan kemudian nekat menceburkan diri ke dalam dunia hitam. Separuhnya lagi karena kesulitan ekonomi sehingga nekat melacurkan diri. Penyakit AIDS (sebagai penyakit kelamin mematikan) banyak muncul dari kawasan lokalisasi. Sementara sebagian besar pelanggan lokalisasi Dolly sendiri enggan menggunakan kondom dalam prakteknya. Sudah berapa banyak keluarga di Surabaya yang suaminya “jajan” di lokalisasi tersebut kemudian terkena AIDS? Angka ini mungkin belum ada datanya. Namun, perlahan tapi pasti bisa menjadi masalah mematikan bagi perkembangan Kota Surabaya kedepannya.
Menertibkan Dolly dalam artian yang lebih luas menutup lokalisasi terbesar di Indonesia ini, bukan semudah membalikkan tangan. Ada beragam faktor derivatif yang perlu dipikirkan pemkot untuk memuluskan rencana besarnya. Pertama, mempersiapkan lapangan pekerjaan bagi ratusan PSK, agen-agen, preman serta mucikari yang siap kembali ke dalam masyarakat. Tentunya dengan membekali mereka keterampilan kerja terlebih dahulu. Kedua, memberikan perhatian ketat terhadap lokalisasi Dolly agar tidak ada lagi suplai PSK dan kemajuan bisnis esek-esek ini. Dalam bahasa lugasnya, mematikan secara perlahan-lahan ekonomi bisnis esek-esek tersebut. Pemkot sudah membuktikan dengan mulai mengusulkan pemasangan CCTV. Ketiga, dengan tentu saja mengubah kawasan Dolly menjadi tempat yang lebih produktif. Semisal membangun pasar rakyat, taman kota atau pusat rekreasi lainnya.
Terakhir, akan lebih indahnya pemkot memfasilitasi adanya nikah massal. Ini untuk menghindari terjadinya praktek seks komersial dan selingkuh. Manakala nafsu disalurkan dalam jalan yang benar maka akan menunai pahala, begitu juga jika dilakukan di jalan yang salah akan membawa akibat yang negatif.
Subandi Rianto, student of Airlangga University-Surabaya
Subandi.rianto@gmail.com

1 komentar:

levi my0n mengatakan...

jika dolly dipindah terus para lelaki hidung belang mau njajan dimana kang ?? haha