Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Senin, 26 April 2010

Mendengarkan Shalawat Nabi dengan Nuansa yang Berbeda

Oleh : Subandi Rianto
*Student of History Department of Airlangga University-Indonesia.


Shalawat nabi merupakan sesuatu yang sakral dalam ritualisme ibadah umat islam. Biasanya shalawat lebih sering dibacakan secara bersama-sama di masjid dalam rangka pengajian, yasiinan, istighosah atau semacamnya. Nuansa yang kita tanggap akan kurang lebih sama. Yaitu, merasakan kegetaran hati yang sama disaat shalawat secara serentak dibaca. Tapi, anda akan merasakan hal yang lebih hebat lagi manakala shalawat nabi dibacakan secara berbeda. Bagaimana maksudnya?
Saya pernah mengalami sedikitnya tiga kali nuansa yang berbeda dalam mendengarkan shalawat nabi. Tentu saja bukan di masjid atau di mushala-mushala. Nuansa itu, pertama saya tangkap ketika paruh terakhir tahun 2008. Beberapa hari menjelang Ramadhan tiba. Saat sedang duduk di mikrolet di Jakarta yang menuju ke arah Blok M. Bersama beberapa teman dan ”ustadz”, kami duduk di bagian depan. Hingga kemudian naiklah tiga orang pengamen yang penampilannya beda dari yang lainnya. Dua orang mengenakan kopiah, sementara yang satu mengenakan surban. Sebuah gendang dan ecrekan mereka pegang. Beberapa menit nada awal dinyanyikan. Hemm... ternyata shalawat nabi. Bisa anda bayangkan, disebuah bus kota (mikrolet) di Kota Jakarta yang sedang kondisi penuh, pengap dan sesak. Plus macet lagi. Setetes embun dinyanyikan diantara kami. Hati saya mak cess mendengarnya, terasa ada yang berbeda suasana siang itu, sebuah rindu terbit dari hati terdalam saya. Rindu kepada Kanjeng Nabi lewat nyanyian shalawatnya tadi.
Akhir tahun 2009, ketika saya hendak balik ke Surabaya dari Yogyakarta untuk kuliah. Kereta Ekonomi Sri Tanjung menjadi pilihan transportasi. Selain hemat biaya juga bisa lebih merakyat. Ketika itu, kereta sudah berangkat dari Lempuyangan-Yogyakarta sejak pagi sekali, pukul 07:00. Menjelang Kota Sragen dan Solo. Para penumpang semakin menjejali angkutan rakyat tersebut. Selepas Kota Solo, serombongan pengamen. Berjumlah tiga orang juga, mengenakan pakaian pas-pasan. Seorang membawa gitar, sisanya membawa ecrek-ecrek dan sebuah gelas air minuman. Tahukah apa yang mereka nyanyikan? Ya, shalawat nabi lagi. Waktu itu saya hampir tidak tahu kalau ada pengamen yang naik kereta, kalau mereka tidak menyanyikan shalawat nabi. Bagi saya di sebuah kereta ekonomi sudah ada puluhan pengamen yang nyanyi dan kurang lebih nada maupun liriknya sama saja. Hingga membuat saya acuh tak acuh terhadap yang namanya pengamen. Tapi, ini adalah nuansa yang berbeda. Nuansa yang dibawakan beberapa orang pengamen. Saya sempat menoleh mencari asal suara shalawat tersebut, karena saya merasa ada nuansa yang begitu agung. Nuansa agung di tengah-tengah derit kereta ekonomi rakyat yang penuh dengan kesengsaraan. Panas, pengap, bising dan sesak. Tetes demi tetes membuat saya hampir saja menangis. Maklum suara mereka seperti mengingatkan bahwa sebentar lagi dunia ini mendekati kiamat. Seakan-akan langit di atas sana sudah terlalu tua.
Awal tahun 2010, ketika sehabis mengikuti acara bedah buku di Universitas Kristen Petra-Sidoarjo. Saya harus segera kembali ke Surabaya sebelum hari gelap agar tidak sampai terlalu malam. Berawal dari menumpang angkot jurusan Terminal Joyoboyo, saya harus bersabar menunggu beberapa jam. Maklum, saat itu sedang ada razia gabungan Dinas Perhubungan terhadap angkot-angkot di sekitar Surabaya. Jadi, akhirnya saya pun baru sampai di Terminal Joyoboyo-Surabaya mendekati pukul 17:30. Hampir mendekati azan maghrib.
Akan tetapi, ditempat yang suasana sama pula. Seorang pengamen remaja membawa gitar hendak menyanyi. Awalnya saya pikir Ia akan menyanyi seperti pengamen-pengamen lainnya. Lirik dan nadanya sama. Dan angkot yang saya tumpangi sudah puluhan kali didatangi pengamen yang jenjang usianya beragam tapi nada dan liriknya sama. Bayangkan betapa bosannya penumpang seisi angkot tersebut. Tapi pengamen remaja tadi tidak, agaknya ia lebih kreatif. Nyanyian shalawat akhirnya mengalun pelan diiringi petikan gitar. Cess, saya merasakan ada aura yang berbeda menjelang azan maghrib dikumandangkan. Beberapa detik sebelum azan, nyanyian shalawat dari pengamen cilik tadi mampu melunakkan hati kami setelah lelah seharian beraktivitas. Tampaknya dari sekian puluh pengamen yang ”nongkrong” di angkot yang saya tumpangi. Hanya dia yang mendapat uluran uang beberapa ribu dari penumpang. (Tanpa bermaksud riya akhirnya saya juga ikut mengulurkan uang, terkesan akan nyanyian shalawatnya).
Begitulah, tampaknya Kanjeng Nabi akan selalu hadir disetiap sisi kehidupan kita. Hadir melalui shalawatnya untuk menjadi pengingat agar kita senantiasa selalu dekat dengan-Nya. Serta seperti yang kita harapkan selalu, semoga di akhirat nanti kita bisa bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan mendapatkan syafaatnya. Amien.

Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
Wa ala alihi wasohbihi wassalam.


Email : subandi.rianto@gmail.com
Mobile : +6281227797042
Web : http://www.subandi-rianto.blogspot.com

Tidak ada komentar: