Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Rabu, 20 April 2011

Proses Pembentukan dan Pergeseran Arti Kota di Indonesia: Sebuah review atas BAB Sejarah Kota Buku “metodologi Sejarah”

Oleh: Subandi Rianto

Proses pembentukan kota tidak lepas dari segala aktivis manusia. Selain didahului dengan segala aktivitas dari daerah pedesaan. Kota menjadi “pusat baru” dari segala pergeseran kegiatan di desa. Mulai dari aktivitas politik, perlawanan kolonial dan geliat ekonomi. Secara lugas, arus perpindahan aktivitas manusia dari desa ke daerah baru (kota) membawa perubahan besar bagi pergerakan nasional. Selain berpindah aktivitas, manusia juga membangun “peradaban” yang didasarkan pada aktivitas ekonomi, politik serta kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa karakter masyarakat kota bisa jadi berasal dari residu budaya desa. Atau menjadi sebuah karakter baru hasil dari campuran. Studi kasus pada kota-kota pedalaman yang masih mewarisi budaya masyarakat desa. Dimana kepercayaan mistik-kuno masih menjadi bagian sehari-hari. Masyarakatnya masih mempercayai kekuatan roh-roh halus, dukun dan tokoh spiritual lainnya. Contohnya, bisa dilihat dari segala birokrat saat itu yang percaya akan sebuah wangsit, wahyu atau amanah dari langit. Dimana secara pola pikir hal-hal tersebut merupakan karakter masyarakat desa.


Sementara, kota-kota pesisir cenderung membentuk karakter dan budaya baru. Dimana karakter dan budaya tersebut hasil dari percampuran berbagai budaya dari desa. Surabaya, sebagai kota pesisir-urban menjadi contoh paling baik. Disebut sebagai kota dengan ciri khas campuran, karena berbagai etnis datang dan mendiami Surabaya serta membentuk budaya baru. Sepenuhnya tidak bisa dikatakan “baru” karena ternyata juga menyimpan residu budaya lama. Ada banyak etnis di Surabaya yang membentuk kota ini menjadi “kebudayaan arek” . Kebudayaan campuran antara Jawa dan Madura dengan dominasi Jawa lebih kuat.
Perbedaan karakter kota pedalaman dan pesisir akhirnya mempengaruhi letak dan tatakota. Dimana kota pedalaman yang lebih teratur dalam budaya karton. Mengalami penataan kota sesuai dengan etika dan pranata kraton sendiri. Akan bisa ditemukan alun-alun didepan kraton, masjid agung serta pengelompokan masyarakat dalam kelas-kelas tersendiri. Orang-orang Arab keturunan berdiam di Kampung Kauman, sementara pedagang Cina menyemut di China Town (Pecinan). Sementara, sifat kota pesisir malah lebih “kekotaan” dibandingkan kota-kota pedalaman. Kota pesisir mengalami perkembangan natural, dimana jarang ditemukan pengkotakan masyarakat berdasarkan etnisitas. Karena sifat kota pesisir yang lebih plural dan multikultural, maka sering terjadi asimilasi kebudayaan. Banyak pedagang-pedagang asing menikah dengan pribumi, menetap dan mengembangkan budaya mereka atau membaur dengan budaya lokal.
Faktor selanjutnya perkembangan kota adalah munculnya kelas-kelas baru dalam hierarki masyarakat kota. Kelas-kelas baru yang terdidik dan intelektual tersebut menjadi basis utama perubahan kota. Basis utama dalam pergerakan dan perlawanan nasional. Serta membentuk pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan (spt pasar, universitas, bandara, stasiun, perkantoran dll).
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai kajian sejarah kota yang sangat luas. Sehingga memerlukan garis-garis yang jelas dalam mengkaji masalah kota. Selain, membutuhkan garis kajian yang jelas. Sifat relasi kota dengan kajian sejarah lainnya menjadi permasalahan utama dalam memberikan batasan kajian sejarah kota. Kota bisa masuk dalam kajian sejarah ekonomi, politik, budaya serta sosial. Permasalahn diatas perlu diselesaikan untuk menghindari (bukan membatasi/mengecilkan) wilayah kajian sejarah kota yang sangat luas. Pembatasan diperlukan untuk mengfokuskan mengenai kajian “kota dan kekotaan” itu sendiri dibandingkan kajian sejarah lainnya.
Historiograf Amerika, Eric Lampard memberikan batasan kajian sejarah kota hanya sebatas “proses urbanisasi” yang dianggap sebagai aktivitas masyarakat. Pembatasannya Lampard –ditegaskan kembali oleh Prof. Kuntowijoyo- hanya sebatas membuatnya jelas dan mengukuhkan keberadaannya sebagai suatu jenis penulisan sejarah. Bukan untuk mempersempit bidang kajian sejarah kota yang luas tersebut. Selanjutnya, agar pembahasan sejarah kota dapat berjalan sesuai koridor pembatasan di atas, Prof. Kuntowijoyo memberikan beberapa catatan dalam penulisan sejarah kota (yang telah dibatasi) agar bisa fokus pada “kekhasan” dan “permasalahan pokok” kota:
1. Catatan pertama, fokus kajian pada perkembangan ekologi kota. Dimana pembahasannya seputar interaksi manusia dengan lingkungannya. Mengenai konsep agrarian, penataan kota, sanitasi, industri, perdagangan, transportasi dll.
2. Catatan kedua, fokus kajian pada transformasi perkembangan sosial ekonomi kota. Dimana pembahasannya seputar pranata-pranata hidup masyarakat kota pedalaman (kraton), kota pesisir (multikultural), filosofi-filosofi hidup, aturan-aturan sosial serta faktor-faktor sosiologis lainnya.
3. Catatan ketiga, fokus kajian pada sistem dan struktur sosial kota, membahas seputar relasi dan hubungan antar masyarakat kota. Pembentukan kelas-kelas dalam hierarki serta kebudayaan-kebudayaan yang terstratifikasi secara sosial.
4. Catatan keempat, fokus kajian pada permasalahan sosial kota. Seputar segregasi pemukiman kota (yang biasanya dipisahkan secara etnis dan kelas), disparitas pemberian hak, kesenjangan sosial, serta perbedaan dalam akses ke sektor-sektor penting (pendidikan, ekonomi, politik, dll).
5. Catatan kelima, fokus kajian pada mobilitas sosial. Menyoroti perkembangan naik turunnya masyarakat dalam kelas-kelas tertentu. Misalnya naiknya jumlah pedagang batik diikuti dengan banyaknya orang bergelar haji. Atau meningkatnya kelompok pedagang dalam ekonomi kota menjadikan pusat-pusat ekonomi semakin banyak.

Tidak ada komentar: