Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Senin, 18 Januari 2010

Seseorang Termenung

Seperti biasanya, saat saya bersama teman-teman hendak pulang kampung dari Bogor ke Yogyakarta. Selalu lewat Stasiun Pasarsenen-Jakarta. Dari sanalah kereta akan melaju menuju stasiun berikutnya di sekitar Jakarta. Antara lain, Jatinegara, Bekasi dan Karawang hingga seterusnya. Suatu hari saat kereta dari Pasar Senen berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 06:15. Keadaan stasiun masih agak gelap dengan remang-remang cahaya lampu pijar.
Dipagi buta, dengan perlahan, Kereta Fajar Utama bergerak meninggalkan Jakarta. Sesaat keadaan malam Jakarta yang berubah siang terlihat dengan jelas. Warung-warung malam mulai berbenah bersih-bersih. Lampu-lampu rumah emperan rel kereta mulai dimatikan, menggeliat bangun sang penghuninya. Jalan-jalan sekitar rel mulai ramai oleh pemulung, pencari beling, pencari plastic, pengemis serta pencari nafkah lainnya.
Sejenak kehidupan pagi beberapa stasiun juga terekam. Banyak petugas menyapu sampah-sampah bekas penumpang tadi malam, pedagang mulai merapikan dagangannya menghadapi pagi yang berbeda, beberapa orang lalu-lalang sambil merokok –dari penampilannya mengesankan seperti preman-, serta loper-loper koran yang beranjak menawarkan Koran pagi Jakarta. Entah Warta Kota atau Pos Kota, dua-duanya sama-sama laku.
Ketika kereta melewati sebuah stasiun, melambat dengan perlahan-lahan. Pandangan saya tertuju pada sebuah tulisan besar “Stasiun Jatinegara”. Ah… teringat kawan saya orang Bogor yang pernah memberitahu sedikit nasihat mengenai satu stasiun ini. Ini adalah salah satu stasiun paling rawan di Jakarta. Katanya seringkali pencopetan dan perampokan mengintai penumpang d setiap sudut stasiun. Keadaan stasiun yang sedikit muram, semuram cerita kawan saya tadi memberikan kesan bahwa stasiun ini benar-benar “rawan”.
Di sebuah ujung peron yang hampir kotor oleh kaki-kaki penumpang, seseorang dengan memegang bungkus es terlihat duduk jongkok merenung. Memandangi garis-garis rel kereta. Tatapannya kosong menyimpan misteri. Muram. Serta menyiratkan penyesalan. Sejenak Ia mengambil nafas menyedot habis udara pagi Jatinegara. Sedetik kemudian pandangannya dialihkan ke pelataran stasiun yang mulai ramai oleh penumpang dan pedagang. Garis-garis wajahnya masih menyiratkan kekosongan. Entah, apakah Ia menanti sesuatu atau telah terjadi sesuatu pagi itu.
Fajar Utama kembali bergerak, Pikiran saya berkecamuk akan seseorang tadi, apakah yang terjadi dengannya? Beribu kemungkinan menghinggapi kepala saya hingga kereta beranjak keluar dari garis batas ibukota menuju Bekasi. Apakah ia sedang ada masalah dengan pikirannya, atau Ia menjadi korban pencopetan pagi itu?. Semestinya tidak, karena penampilannya layaknya penghuni sekitar stasiun. Tapi yang terngiang kembali adalah, apakah hingga sepagi itu Ia bekerja di stasiun belum mendapatkan sepeser uang pun? Sementara istri dan anaknya masih menunggu di rumah.
Berrrr, bergetar hati saya melihat sekilas keadaan tadi. Semoga saja tidak ada apa-apa dengan seseorang tadi. Memang kehidupan keras jalanan Jakarta mengharuskan seseorang untuk berhati-hati.
Derit mesin kereta beradu dengan rel, mengingatkan saya kembali tentang seseorang tadi…


Surabaya, 31 Oktober 2009
Mengenang menuntut ilmu di kota hujan, Bogor Raya
Subandi Rianto

Tidak ada komentar: