Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Rabu, 20 April 2011

Heterogenisasi Etnis Masyarakat Islam di Nusantara Era Abad 15-19 M.

Oleh: Subandi Rianto

Periodisasi masuknya Islam ke kepulauan nusantara hingga kini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Prof. Riklefs bahkan menggarisbawahi bahwa masa-masa tersebut merupakan wilayah “abu-abu” dalam sejarah Indonesia. Sepotong puzzle sejarah yang tidak jelas secara waktu dan spasial. Jika kalangan sejarawan barat seperti Hurgronje berpendapat pada abad 13 M dengan patokan utama pada nisan Sultan Malik As-Salih. Maka, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara membantah dengan tegas. Beliau lebih menyetujui pendapat T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam yang menulis bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7 M. Perdebatan demi perdebatan tidak sebatas pada apa yang disebut dengan “massa” atau waktu kedatangan Islam di nusantara. Tetapi juga melebar pada asal muasal Islam datang. Ada beragam teori yang menjelaskan darimana Islam nusantara berasal. Salah satunya Prof. Slamet Muljana yang mencetuskan teori bahwa Islam berasal dari muslim-muslim China. Tesis Prof. Slamet Muljana kebanyakan berlandaskan ada arsip-arsip di Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Hingga tesis tersebut berkesimpulan bahwa ada beberapa walisongo yang keturunan dari China.



Jika ada beragam banyak daerah yang “memulai” islamisasi atas kepulauan nusantara. Maka dapat disimpulkan bahwa proses islamisasi pasti diikuti oleh difusi kebudayaan. Dimana difusi tersebut melibatkan migrasi beragam etnis benua lain untuk masuk ke nusantara. Proses tersebut akhirnya membuat nusantara menjadi “penuh” oleh keanekaragaman etnis. Prof. Sartono Kartodirjo menuliskan. Bahwa jaringan perdagangan di Asia Tenggara sejak abad 14 telah dipenuhi para pedagang dari Arab, Gujarat, Cina dll. Mereka membuat pemukiman disepanjang kantong-kantong perdagangan Semenanjung Malaya. Bercampur baur dengan penduduk asli dan mengalami akulturasi kebudayaan.
Setelah etnis muslim India mewarnai nusantara lewat jalur Selat Malaka. Kemudian etnis Cina juga mewarnai kemajemukan masyarakat nusantara melalui migrasi besar-besaran. Tesis terakhir diperkuat pendapat bahwa serangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 memberikan efek besar bagi etnis muslim Cina (Hui) di Kedah. Kedah saat itu merupakan kota satelit muslim Cina dalam pelariannya dari negara asal. Ketika itu negeri Cina dilanda sebuah pemberontakan melawan kaisar. Kaisar sangat marah dan menuduh etnis Hui sebagai pelakunya. Untuk menghindari tekanan politik kaisar Cina. Etnis Hui bermigrasi ke Kedah. Akibat serangan Portugis pada 1511 membuat mereka berdiaspora ke seluruh kepulauan nusantara.
Sebuah pengantar diatas sengaja saya tampilkan untuk pembuka sebuah analisis terjadinya fenomena “heterogenisasi” etnis-etnis muslim di kepulauan nusantara. Periodisasi pisau analisis akan tetap mengikuti pembabakan yang ditulis Prof. Sartono Kartodirjo dalam “Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900” yang menulis diawali dari runtuhnya kerajaan Hindu-Budha, terbentuknya jaringan kota-kota Islam yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Serta ditutup dengan kedatangan bangsa kolonial atas kepulauan nusantara. Fokus utama pisau analisis terletak dari komposisi kependudukan etnis muslim yang secara spasial masih dalam satu kota. Praktis studi demografi kali ini akan banyak menyinggung tentang kota juga sebagai sebuah ruang heterogenisasi etnis muslim.
Sartono mengawali tentang pola perdagangan Asia Tenggara yang denyut nadinya membesar di Semenanjung Malaya. Awal abad 13 terbentuk banyak pemukiman di sekitar pantai timur Sumatera. Bertepatan dengan gelombang besar Islamisasi atas kepulauan nusantara, banyak pedagang muslim beragam etnis mulai mendirikan pusat-pusat perdagangan. Malaka, Aceh hingga Palembang menjadi contoh yang baik akan pemukiman Muslim. Naguib Alatas bahkan menyakini di Kanton-Cina pada periode yang sama telah berdiri pemukiman pedagang muslim dari berbagai etnis. Bukti terkuat jaringan perdagangan tersebut (relasi perdagangan arab dan nusantara) adalah surat-menyurat antara kekhalifahan Umar dengan Maharaja Sriwijaya. Serta kunjungan Sahabat Nabi Muhammad Saw, Saad bin Abi Waqqash yang mendirikan masjid Canton di Cina. Relasi perdagangan antara nusantara dan arab membuat diaspora masyarakat arab masuk ke nusantara. Pusat-pusat perkampungan Arab dapat ditemui di jalur strategis yatiu Jayakarta (sekarang Kampung Melayu) hingga Ampel-Denta (Gresik-Surabaya). Bahkan, setelah jatuhnya Malaka kepada Portugis. Hubungan dagang tersebut tetap dilakukan dan berpindah ke Banten.
Memasuki era kerajaan Islam, hubungan antara nusantara dengan jazirah arab tetap terjaga. Bahkan, Kerajaan Samudera Pasai memiliki hubungan khusus dengan Kekhalifahan Turki Utsmani. Dimana setiap keberangkatan kapal haji dari Aceh selalu mendapat pengawalan ketat militer Turki Utsmani di sepanjang India hingga Tanah Arab. Dibeberapa kerajaan-kerajaan lain, etnis arab mendapat tempat dan kedudukan tinggi di dalam kerajaan. Di Mataram, etnis arab bermukim di Kauman dan beberapa dari mereka diangkat menjadi Qadi (Penasehat Agama Sultan serta kepala Kehakiman). Di Aceh sendiri, beberapa ulama merupakan orang-orang keturunan Arab. Ada dari masyarakat Aceh yang juga menimba ilmu di tanah Arab dan menjadi mubaligh di Mekah.
Era masuknya Tionghoa ke Nusantara melalui beberapa gelombang imigrasi. Van Leur berpendapat bahwa hubungan perdagangan antara Nusantara dan Tiongkok lebih muda dibandingkan dengan India dan Arab. Gelombang pertama terjadi pada awal abad 3 M hingga 5 M. Ketika para pedagang Tiongkok ikut dalam pelayaran ke Asia Tenggara. Mereka mengikuti arah angin muson dan menetap di Jawa untuk menunggu angin muson berikutnya. Kemudian imigrasi kedua awal abad 15 M dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho ke berbagai tempat di Asia Tenggara. Disusul kemudian tesis diaspora etnis muslim Cina dari kota Kedah-Malaya pada paruh tengah abad 15 M.
Menjelang abad 16, ketika memasuki fase kolonialisasi. Beberapa kota kolonial mulai terbentuk akibat hasil proses aneksasi kolonial ke nusantara. Kota-kota kolonial tumbuh dan berkembang mengiringi kota-kota tradisional yang khas dari kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Proses perubahan yang mengiringi kota kolonial membuat struktur sosial (demografi masyarakatnya) berbeda dengan struktur demografi kota tradisional. Penjelasan di bawah akan memberikan analisis tajam kenapa terjadi perubahan dan perbedaan antara struktur demografi antara kota kolonial dan kota tradisional (kota-kota kerajaan Islam Nusantara).
Kota kolonial biasanya terbentuk setelah proses perdagangan mengalami dominasi kuat dari salah satu pihak. Terlihat dari semakin kuatnya aneksasi kolonial ke nusantara kemudian menciptakan kota-kota kolonial bergaya kota pesisiran. Kota pesisiran, seperti Tuban, Banten, Surabaya dan Palembang cenderung mempunyai struktur demografi yang heterogen dan mengalami akulturasi budaya. Hal itu disebabkan karena kota pesisiran yang notabene pelabuhan adalah tempat bertemunya beragam etnis. Sehingga, memungkinkan mereka untuk saling campur baur dalam perdagangan. Pun, pengawasan dan aturan tata kota di kota pesisiran tidak seketat di kota pedalaman. Hanya ada syahbandar sebagai juru administrator dan penguasa pelabuhan.
Akhirnya, kita bisa melihat di Palembang bahwa letak-letak rumah penduduk mengikuti alur sungai. Mengikuti heterogenisasi pemukiman penduduk. Bandar Banten yang terkenal setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, juga mempunyai struktur kota heterogen. Dimana banyak etnis-etnis Arab, Cina dan Portugis mewarnai tatanan kotanya. Masjid Banten terutama bergaya arsitektur campuran Islam, Arab dan Portugis. Pun Surabaya tidak jauh sama. Sebagai kota kolonial, Surabaya menjadi kota tujuan urban masyarakat muslim pedesaan. Mereka yang datang dari Arab kemudian menetap di Ampel dan membaurkan kebudayaannya. Begitu juga dengan masyarakat muslim pribumi membaur secara kebudayaan. Sehingga, Surabaya menciptakan kebudayaan baru. Kebudayaan Arek, hasil akulturasi kebudayaan Jawa-sentris dan Madura yang cenderung agamis.
Sementara itu, kota-kota tradisional yang sebelumnya dibangun oleh kerajaan-kerajaan Islam masih mengalami pengkotak-kotaan. Hasil dari warisan sistem konsentris membuat kota tradisional memiliki aturan tegas dalam menata kota. Di Mataram Islam, para etnis arab berprofesi agamawan ditempatkan di Kampung Kauman. Beberapa dari mereka menjadi penasehat agama Sultan. Sementara kaum pribumi yang berprofesi sebagai prajurit raja ditempatkan dalam kampung-kampung tertentu. Wilayah kerajaan yang dikelilingi benteng hanya dikhususkan oleh keluarga sultan. Wilayah tersebut (kutaraja) sangat terlarang dari pemukiman pedagang dari etnis non-Jawa. Sehingga, dapat dilihat struktur dalam kota tradisional sangat homogen. Sebuah kraton dan infrastruktur pendukungnya yang meliputi alun-alun, masjid dan pendopo sangat sakral sekali bagi penduduk asli. Dengan artian hanya dikhususkan untuk kemakmuran kesultanan tersebut. Selain wilayah kutaraja, juga terdapat mancanegara dan pesisir. Yaitu sebuah wilayah yang jauh dari pusat kerajaan dan berfungsi sebagai penyokong kemakmuran sultan.
Sistem demografi homogen di kota-kota tradisional memang sengaja diterapkan oleh sultan. Dengan harapan agar terjaga stabilitas pada setiap elemen masyarakat. Ketika stabilitas terjaga, maka legitimasi atas kekuasaan raja semakin besar. Sehingga kondisi kerajaan dapat dikendalikan untuk kemakmuran rakyat. Demikian, sebuah review dan analisis komparasi atas sebuah fakta-fakta sejarah mengenai kependudukan masyarakat muslim Indonesia pada abad 15-19.

Tidak ada komentar: