Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Kamis, 15 April 2010

AIDS, Pendidikan Seks dan Norma Agama

AIDS di Indonesia saat ini sudah dipandang sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beragam cara telah ditempuh untuk mengendalikannya, mulai dari sosialisasi penggunaan kondom, konser amal, seminar-seminar pendidikan seks dll. Namun, semua seolah-olah hanya gerakan sporadis yang belum menemukan ruhnya. Tingkat seks bebas yang dibarengi AIDS masih tetap saja tinggi. Bahkan hingga minggu-minggu ini, tingkat penderita seks mulai bergeser dari usia pemuda menuju usia remaja. Budaya seks bebas ternyata tidak mengenal umur, bahkan anak-anak usia produktif pun terancam masa depannya.
Berangkat dari penyakit satu ini, penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sikap pemerintah dan lembaga swadaya hanya sebatas tingkat kuratif saja. Tingkat penyembuhan dan penanganan korban dengan cara melakukan sosialisasi agar penderita tidak dikucilkan dari aktivitas lingkungan masyarakat. Sementara, untuk usaha preventifnya malah jauh dari panggang. Usaha-usaha preventif hanya sebatas menyebar brosur, mengadakan konser amal (yang tentunya hedon) atau malah menyebarkan kondom. Sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan jalurnya.
Bila usaha preventuf agar penyakit HIV-AIDS tidak meledak menjadi Kejadian Luar Biasa, kenapa yang dibagikan adalah kondom? Bukan obat-obatan yang bisa mencegah adanya HIV-AIDS. Saya rasa dengan membagi-bagikan kondom pada tempat yang umum malah akan menambah para penikmat seks bebas. Bayangkan, bila kondom-kondom itu jatuh ke tangan anak-anak muda yang notabene masih labil emosinya. Dengan rasa ingin tahunya yang begitu tinggi. Bukankah mereka juga akan mencoba-coba yang namanya seks bebas?. Lantas, yang terjadi bukan mencegah adanya penderita baru, tapi malah menambahnya.
Kemudian, langkah apa yang tepat untuk menanggulanginya? Jawabannya terletak pada pendidikan seks sejak usia dini (sex education). Namun, yang menjadi catatan adalah pendidikan seks dalam konteks ini tidak dilakukan begitu saja tanpa adanya pegangan yang jelas. Pendidikan seks akan menemukan ruhnya apabila kita satukan dengan norma-norma agama. Agama akan secara jelas mengatur bagaimana tatacara pendidikan dalam seks tersebut secara gamblang dan terperinci. Jadinya, dengan agamalah pendidikan seks bukan sebatas mainan dan bahan lelucon, yang biasanya sangat dinikmati oleh penderita seks bebas.
Langkah nyata pemerintah adalah membenahi pendidikan seks yang ada sekarang. Jangan sampai bola liar bernama sex education ini diumbar kesana-kemari tanpa ada hulu yang jelas. Dalam konteks umum, pendidikan seks hanya dipandang bagaimana cara-cara berhubungan seksual yang bersih dari ancaman virus HIV-AIDS, konteks tersebut biasanya mengacuhkan apakah hubungan seks tersebut legal atau ilegal. Bila pendidikan seks telah disatukan dengan norma-norma agama, maka akan terlihat jelas warnanya. Hitam atau putih akan tampak akibatnya. Agama memberikan panduan bagaimana tatacara berhubungan seksual yang aman dari ancaman virus dengan landasan utama adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan, maka setiap hubungan seksual yang dilakukan tergolong legal. Dan pelakunya akan terikat dengan aturan agama jika Ia melakukan hubungan seks diluar pernikahannya tadi.
Demikian, dengan adanya seks yang sesuai norma agama. Maka wujud penyakit HIV-AIDS akan nyata terlihat segmentasinya. Karena sebagian besar penderita HIV-AIDS adalah orang-orang yang melakukan hubungan seks ilegal, bahkan jika sudah menikah pun pastinya sebelumnya pernah melakukan seks bebas. Belum lagi dengan para remaja kita yang sudah familiar dengan yang namanya pacaran. Berlanjut dari hubungan biasa dan kemudian berakhir dengan hubungan seks bebas yang memang rentan akan penyakit mematikan ini.
Alangkah lebih baiknya lagi, jika para LSM-LSM tidak mengkampanyekan bahaya seks bebas dengan membagi-bagikan kondom di wilayah umum. Manakala kondom tersebut dibagikan di ranah lokalisasi silakan saja, karena hak tersebut ada dalam pemerintah guna menangani para PSK yang terlanjur jatuh ke dalam penyakit tersebut. Dengan membagi-bagikan kondom secara terbuka, maka jangan kaget jika penderita AIDS bukannya turun tapi terus melaju hingga tingkat yang mengkhawatirkan.
Upaya pemerintah pun, baik pemerintah pusat maupun daerah. Hendaknya bekerja lebih intensif sesuai dengan domain mereka. Jika pemerintah pusat bisa memasukkan kurikulum pendidikan seks ada dalam pelajaran agama. Kenapa tidak? Bukannya seks dalam agama bisa diperjelas secara hitam dan putihnya. Untuk pemerintah daerah sendiri, akan lebihnya mengurangi jumlah kondom yang bertebaran guna menjaga jatuhnya kembali korban akan iming-iming mainan sesaat ini. Bahkan bila perlu, kondom hanya akan diperjualbelikan untuk para suami istri yang sah, guna meredam penggunaan kondom yang tidak pada tempatnya.
Terakhir, pemerintah daerah dapat lebih menekan pusat-pusat lokalisasi agar mati secara berangsur-angsur. Contoh kasus adalah penanganan pemkot Surabaya dalam mengawal lokalisasi Kremil menuju kematian. Beragam cara dilakukan agar Kremil berubah status dan pusat lokalisasi bisa dimatikan. Secara preventif, memang para pengguana lokalisasi turun drastis akibat oembatasan penambahan PSK baru. Secara kuratif pun, para ”mantan” PSK tersebut juga dibekali ilmu-ilmu kewirausahaan sebagai bekal hidup selanjutnya. Seperti inilah, langkah konkret pemerintah yang patut dicontoh pemerintah daerah lainnya bahkan LSM-LSM sekalipun yang giat dan fokus akan isu-isu HIV-AIDS.

Tidak ada komentar: