Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Rabu, 20 April 2011

STUDI PATRONASE DI SULAWESI SELATAN Sebuah telaah terhadap buku “Minawang: Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan” Karya Drs. Heddy Shri Ahimsa Pu

Sebuah Pengantar
Budaya Patronase atau Patron-Klien merupakan sebuah ciri khas dari mozaik kebudayaan di Nusantara. Hampir sebagian besar kebudayaan yang mendiami Kepulauan Nusantara memiliki budaya patron-klien, beberapa contohnya adalah Jawa dan Sulawesi Selatan. Dimana budaya ini bersifat emosional dan berkelanjutan. Budaya Patron-Klien telah diteliti bertahun-tahun oleh para antropolog dan menghasilkan pengertian sebagai berikut:



“…suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atas kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien). Hingga kemudian giliran klien membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan termasuk jasa-jasa pribadi kepada patron” (scout: 1972)
Secara umum, budaya patron-klien dapat ditemukan dikehidupan masyarakat pedesaan, dimana terjadi hubungan timbal-balik seperti yang didefinisikan di atas. Jika di Jawa bisa dijumpai semenjak zaman kerajaan dengan pola hubungan keloyalan masyarakat terhadap pemberian raja. Berlanjut pada masa kolonial dengan hubungan para bupati dan rakyatnya yang saling mengisi. Patron-Klien ternyata bisa dijumpai juga dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan yang rata-rata suku bangsanya merupakan suku bangsa Bugis, terkenal dengan suku yang suka melaut dan nelayan sebagai pencaharian utamanya. Sangat berbeda dengan Jawa yang agraris dan kental dengan budaya patriarki. Buku ini akan menjelaskan dengan lebih kompleks mengenai tata aturan patron-klien di Sulawesi Selatan.


Ciri-Ciri Budaya Patron-Klien dan Penjelasannya.
Ahli antropologi Scout memberikan beberapa ciri-ciri utama hubungan sosial Patron-Klien jika dibandingkan dengan hubungan sosial lainnya:
1. Adanya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran timbal balik.
Merupakan hubungan yang tidak seimbang, karena patron merupakan posisi pemberi yang selalu memberikan bantuan kepada klien agar mereka bisa tetapi hidup dan loyal (bergantung) kepada sang patron.
2. Adanya sifat tatap muka (face to face character)
Sifat tatap muka menandakan bahwa hubungan patron-klien menggunakan hubungan emosional. Dimana dibuktikan dengan panggilan akrab antara sang patron dan klien yang tentu saja unsur rasa (chemistry) terjadi pada hubungan tersebut.
3. Bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility)
Hubungan patron dan klien dikatakan meluwes dan luas bukan hanya pada timbal balik kebutuhan tadi. Tetapi bisa berupa bahwa patron dank lien merupakan teman akrab semasa sekolah dulu, sesame tetangga atau dengan factor-faktor lain yang membuat hubungan keduanya semakin luas.



Patron-Klien di Sulawesi Selatan.
Ilmuwan Sosial Prancis, Peiras memberikan gambaran terang bagaimana Patron-Klien begitu kuat mengakar pada masyarakat Bugis-Makassar. Dimana kebudayaan itu tidak hanya terjadi pada konteks masyarakat pertanian saja. Namun meluas hingga pada bidang perdagangan, pertambakan dan perairan (nelayan).
Masyarakat Bugis mengenal budaya Patron-Klien dari sebuah filosofi mengenai ajjoareng dan joa. Ajjoareng adalah seseorang yang bisa dijadikan panutan atau punggawa/tetua adat. Sementara para pengikut-pengikutnya (orang yang memuliakan ajjoareng adalah joa). Joa akan selalu mengikat janji setia (loyal) dalam keaadaan apapun terhadap para ajjoareng karena mereka memiliki hubungan timbalebalik yang secara menguntungkan. Dimana para ajjoareng bisa memberikan jaminan harga diri dan kebutuhan hidupnya. Ini menjadi prasyarat mutlaknya kesetiaan dan keloyalan seorang joa kepada ajjoarengnya.
Orang-orang ajjoareng merupakan golongan dari bangsawan (karaeng), sementara joa merupakan orang-orang biasa yang menjadi pengikutnya (disebut orang-orangnya para karaeng). Hubungan patron-klien ini dalam bahasa masyarakat Bugis Sulawesi Selatan disebut “minawang” yang artinya adalah “mengikuti”. Yang maksudnya ikatan antara mereka adalah sukarela dan dapat diputuskan setiap saat.
Budaya patron-klien bukan hal yang baru pada masyarakat Bugis sekarang. Pada masa kolonial pun, seorang pegawai Belanda Kooreman pun telah melihat gejala-gejala pengikutan ini. Ia menulis gejala tersebut dalam sebuah laporan dan menamainya volgelingzijn (kepengikutan):
“… tidak adanya upaya orang-orang kecil melawan keangkuhan para kekejaman para bangsawan (karaeng) membuat mereka –orang-orang kecil- meminta perlindungan kepada bangswan yang lain. Bangsawan yang berani melindungi dan menjamin keselamatannya juga meminta timbal baliknya. Berupa kesetian dan keloyalan terhadap setiap keinginannya…”
Analisis dan Pembahasan Patron-Klien di Sulawesi Selatan.
Scout memberikan ulasan yang baik mengenai faktor-faktor pendukung eksistensi budaya ini. Antara lain adanya pelapisan kedudukan dalam masyarakat Bugis, pelapisan kekuasaan, kekayaan yang semua dianggap sah oleh masyarakat disana, adanya degradasi keamanan sosial yang memicu orang mencari perlindungan. Perbedaan status, kekuasaan dan kekayaan sangat jelas mempengaruhi adanya ketidakseimbangan distribusi keamanan sosial, kesejahteraan masyarakat serta problematika sosial lainnya. Hal di atas semakin memicu banyaknya peperangan, perampokan serta tindak pidana kriminal lainnya. Sehingga penduduk berinisiasi untuk mencari perlindungan kepada bangsawan (yang notabene para bangsawan bisa mengoyak simpul-simpul terjadinya peperangan).

Kesimpulan
Penulis dalam melakukan penelitian menggunakan dua pendekatan, yang pertama adalah pendekatan sistem budaya dan pendekatan keadaan. Pendekatan system budaya lebih melakukan penekanan pada budaya orang Bugis. Sementara, pendekatan kedua lebih melihat pada keadaan, situasi tempat menggejalanya budaya patronase. Penulis melakukan klarifikasi dan pembuktian terhadap teori-teori keadaan yang dikemukakan Scout dan memberikan hasil yang bagus. Penulis memberikan kritik bahwa tidak semua teori-teori tentang keadaan yang dikemukakan Scout bisa ditemukan pada budaya patron-klien masyarakat Bugis-Sulawesi Selatan.


Identitas Mahasiswa:

Subandi Rianto, NIM 120914028
Student of History Department, Faculty of Humanities, Airlangga University
subandi.rianto@gmail.com, Mobile: 085646035208

Tidak ada komentar: