Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Rabu, 24 November 2010

DAKWAH tanpa KOMA

Oleh: Subandi Rianto

Kader semakin menurun kualitasnya! kader semakin sedikit jumlahnya! kader semakin sulit dicari!, suara-suara mengkhawatirkan dari sudut-sudut gerak dakwah almamater kita semakin menambah suram masa depan dakwah di kampus Universitas Airlangga. Tak bisa dipungkiri lagi, ketimpangan jumlah kader antara satu fakultas dengan fakultas lain menjadi corak permasalahan yang bisa menjadi gunung es. Pasalnya kebijakan fakultas yang “kelebihan” kader semakin mencerminkan gerakan dakwah yang sempurna. Sementara fakultas yang “minus” kader semakin tertatih-tatih dengan medan yang sangat terjal. Kondisi dakwahnya sangat jauh dari yang diharapkan. Kader sedikit, kualitasnya kurang serta sederet permasalahan lainnya.

Fenonema ini sudah menggejala hampir kurun waktu setahun, disaat-saat semakin meranggasnya rasa “nasionalisme” pada organisasi dakwah. Mahasiswa semakin apatis dengan yang namanya LDK. Perlu proses panjang penulis menemukan “inti” dari benang ruwet komunikasi antara fakultas dan pusat yang semakin tidak sinkron. Beberapa senior di fakultas berungkali berdiskusi dengan kader lainnya bagaimana menemukan format yang tepat dalam menjalankan dakwah di ranah fakultas. Hampir setiap kali juga, diskusi selalu mengambang karena terbentur dengan kurikulum yang telah digariskan oleh pusat. Entah semakin sedikitnya peserta PDK di fakultas menjadi barometer semakin susahnya pusat memahami keinginan daerah. Apa yang diingankan fakultas terhadap kebijakan pusat? Intinya hanya satu, bahwa pusat memahami dan menyerahkan otonomi dakwah kepada daerah (fakultas) agar mereka merancang strategi dakwahnya sesuai dengan medan.

Kesempatan otonomi ini sangat dinantikan fakultas untuk menggeber kembali semangat juang kadernya. Semangat juang untuk memahami medan dakwah fakultas masing-masing. Fakultas hanya meminta agar kebijakan dakwah untuk setiap fakultas tidak sama. Manakala disamakan, maka hal tersebut akan menimbulkan riak-riak kecil permasalahan di tingkat fakultas. Seperti contoh standardisasi bagi peserta PDK I dengan sederet kurikulum “mengerikan” dari pusat, akan membawa degradasi kader di tingkat fakultas. Peserta PDK akan semakin sedikit karena ketakutan dengan sederet prasyarat yang ada. Bayangkan, masak mahasiswa baru sudah harus hafal al-ma’tsurat, juz amma! Bayangkan masak mahasiwa baru sudah mengenal apa itu urgensi dakwah! Apa itu manhaj! Apa itu marhalah siyasi!. Entah, akhirnya mahasiswa berpikir bahwa LDK dan LDF adalah sebuah pesantren yang mewajibkan santr-santrinya harus hafal ini itu. LDK dan LDF semakin jauh dari citra tempat bertaubat. Hanya satu tempat bertaubat, yaitu masjid atau tempat ibadah lainnya… silakan cari saja gereja!.

Dua tahun yang lalu, seorang senior memberitahu penulis bahwa tujuan orang masuk LDK/LDF sudah berubah. Dulunya mereka beranggapan bahwa LDK/LDF adalah tempat mencari ketenangan, tempat mencari pertaubatan dan tenpat menjalin ukhuwah. Makanya, setiap open recruitmen badan semi otonom yang paling banyak memperoleh anggota hanya LDF. Itu cerita lama yang bertumpuk di pikiran para pendahulu dakwah kampus kita. Sekarang? Jangan tanya lagi, bahwa mahasiswa masuk LDK/LDF hanya meneruskan ke-ROHIS-annya mereka semasa SMA. Bagaimana yang belum pernah mengikuti rohis? Bagaimana yang ingin taubat tapi masih pacaran? Cari saja gereja! Disana lebih aman bagimu. LDK/LDF hanya tempat penerus ke-ROHIS-an yang mahasiswa sudah hafal al-ma’tsurat, juz amma bahkan khatam.

Semua cerita-cerita kejayaan dakwah dari para senior menguap begitu saja. Menguap utopis seperti Karl Marx yang gagal menyakinkan komunis pada dunia. Menguap tatkala fakultas terhegemoni oleh kepentingan pusat. Pusat mewajibkan standardisasi bagi anggota baru, pusat memberikan kurikulum yang bahkan “kalimatnya” saja malaikat tidak bisa mengubah. Semua menjadi semakin utopis tatkala “beberapa” fakultas gagal memegang medan dakwahnya. Di sisi lain “sebagian” fakultas berjaya dengan sebutan “center of kader”, “fakultas pesantren” dsb. Fakultas-fakultas yang “rontok” semakin diperparah dengan regenerasi yang mandek. Jabatan-jabatan posisi strategis masih saja diisi senior-senior yang sudah 3 tahun berjibaku. Kader-kader muda “tersingkirkan” dengan direbut ormawa-ormawa lainnya macam HIMA, BEM dan BSO lainnya.

LDF fakultas semakin tidak berdigdaya ketika LDK bersiap menghadapi PEMIRA. Sudah menjadi lumrah tatkala “ikhwah” ingin mempertahankan regenerasi di tingkat BEM Universitas. Maka secara tersirat LDK bermain peran dibelakang pemenangan tim sukses calon “yang diusung dari ikhwah.” LDK kemudian secara instruktif membentuTPF yang lagi-lagi disini berperan sebagai “martil” disetiap fakultas masing-masing. Kerjanya hanya mengikuti instruksi pusat, melaporkan data dan bersiaga memenangkan pemira di tingkat fakultas. Tak lebih dan tak kurang. HANYA ITU SAJA! Lalu, dimana kalimat yang mengatakan bahwa dakwah harus sinergis. Lupakan “sinergis” karena yang ada hanya “instruktif”!

Menuju Pembaruan Dakwah.

LDK seyogyanya memberikan otonomi dakwah kepada LDF dengan segala kebebasannya seperti:

a). Standardisasi Anggota baru LDF.

b). Standardisasi kurikulum yang disesuaikan dengan LDK.

c). LDF berhak menentukan corak dan gaya dakwah dalam lingkup fakultasnya.

Sementara peranan LDF dalam konstelasi PEMIRA:

a). Seyogyanya TPF memberi masukan mengenai model kampanye yang produktif di tingkat bawah. Dan itu juga menjadi pertimbangan penting (jangan hanya jadi kacamata kuda).

b). Seyogyanya antara TPF dan LDK secara aktif dan bersama-sama membangun proses kerjasama yang menguntungkan bukan merugikan di satu pihak.

Identitas Penulis,,

Subandi Rianto merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Merupakan mahasiswa yang baru belajar, mengenal dan memahami dakwah. Pernah mengikuti pelatihan Islamic Youth Camp di Cibubur Jakarta dan Bogor-Jawa Barat. Mabit Pemenangan Pemilu 2009 PKS di Masjid Ummul Quro-Bogor. Saksi pada PILKADA Putaran Kedua Kabupaten Bogor dari utusan PKS 2009. Panitia I’tikaf di Masjid Labschool-Jakarta Timur, Tim Trainer Quantum Learning di beberapa sekolah dasar islam terpadu (SDIT Rahmaniyah-Bogor, SDIT Insan Kamil Depok dan SMPIT Ummul Quro-Bogor). Pernah mengikuti Aksi Akbar “One Man One Dollar for Palestine” long march dari Bundaran HI-Jakarta ke Kedubes AS yang digagas oleh Partai Keadilan Sejahtera 2007. Serta aksi akbar “Mengutuk Pembantaian Sabra dan Shatila” di Bundaran HI-Jakarta yang digagas oleh Lembaga Amil Zakat se-Indonesia 2008. Penulis juga aktif di LDF SKI FIB sebagai staff Syiar, pernah menjadi Panitia Training Keislaman I. serta beberapa ormawa seperti BEM dan HIMA.

3 komentar:

Rizki Idsam Matura mengatakan...

Sungguh MENGHARUKAN betapa kader-kader bangsa yang akan manjadi sosok pemimpin massa, hidup dalam titik hitam durjana. Mengatasnamakan AGAMA untuk kesenangan seketika. Hancurkan Pengikut Setan Alas Roban

heri mengatakan...

Subhanallah Wal Hamdulillah Allohu Akbar. Marvelous! Great writing!
I envy you. We've never talked for a long time. I can't say anything just after reading your article. May Allah bless and ease you to everything good you're doing. I absolutely agree with "Dakwah without Comma" ....

Wassalam
Heri SMART
(otnayirs.ireh@gmail.com)

Integritas Media mengatakan...

Terima kasih untuk semuanya.. @ust. Heri,, thank u very much for your commrnt... I'm grateful whwn you teach me about dakwah at senior high school.. thank you very much...