Cari Artikel Dengan Mesin Pencari

Informasi Tengah

Senin, 26 April 2010

Berkaca dari Sebuah Kereta Ekonomi : Sebuah Diskursus Mengenai Sosialisme-Komunisme (Look ahead from Economic class Train : a discuss about Socialism

Written By : Subandi Rianto
History and Culture Researcher from Airlangga University-Indonesia.
Abstract
Generally, we know that Indonesia Communist Party was destroyed by government at 1965s. Hundred of people Communist Party was killed with the gun in java and the others in Bali Island. Although Socialism and Communist will be swap from Indonesia. The Resident of Indonesia has that Socialism Paradigm long time ago before Indonesia Communist Party born. So, that socialism paradigm can we look and realize in around ourselves. The discuss will be focus in the Economic Class Train in Indonesia. You can look that condition in the third class was very amazing. The Passengers always sahre his seat to others, and they know if the all passengers are same. Both the Passengers and “Pengamen” is same and can seat in the train, and the seat are free from booking.
That condition will not found in the Business Class and Executive Class. Why? Because in the Business and Executive class, the chair have been booking by ticket, booking by person. So, that condition only the people have many money. Not for poor people. Specially from Business and Executive class is the “Pengamen” and seller can not enter the train. Because that rules from Train Authority. Than, what is problem with this article? The problem is if long time ago government will swap the socialism, why now they give that paradigm into the Economic Class Train.
Our paradigm government are not bright. If will give socialism paradigm, we can see The Cina, they success give socialism system into they country. What about Indonesia? Indonesia has two paradigm. Socialism in the Economic Class Train. And also capitalism in the Business and Executive Train. So, which one government to do?. If the government understand with the constitution, maybe they can change Economic Class Train like Executive class. With the comfortable Seat and Air conditioner. Maybe the Government not understand what is the constitution tell. The Resident must be cover that life by money from state.(The Constitution say “earth, water and country wealth as used by many people must be grasp by state and use to all resident again).

Hampir puluhan tahun yang lalu, paham komunis dan sosialis di Indonesia dihabisi baik secara kultural maupun ideologisnya. Singkatnya, ideologi semacam itu dapat dikatakan membahayakan keutuhan negara, sebuah anekdot guyon politik gaya orde baru. Tapi, benarkah prinsip-prinsip sosialisme-kolektivis dapat hilang dari masyarakat kita, atau dengan bahasa lugasnya dikatakan dihilangkan dari sosiokultul negeri kita. Tampaknya hanya omong belaka bahwa hal-hal semacam itu bisa terjadi. Negara sebagai sebuah terminologi kontrak politik selalu mengingatkan warganya akan bahaya laten komunis-sosialis. Tapi, warga sebagai pemegang kontrak politik tetap saja mewarnakan unsur-unsur tersebut dalam kehidupannya.
Memang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dulunya menjadi “tertuduh” dalam kudeta berdarah 1965 telah dihabisi secara frontal oleh sang penguasa. Beragam cara berusaha dimusnahkan agar “sang komunis-sosialis” segera lenyap dari bumi pertiwi. Beribu-ribu simpatisannya dibantai diseantero Pulau Jawa. Bahkan ada yang digiring ke Bali untuk dieksekusi. Negara tertawa sebagaimana mereka menyenangkan pihak-pihak yang ketakutan akan komunisme. Negara-negara yang berhaluan lberal-kanan selalu bermain tangan di Indonesia untuk menyingkirkan komunisme.
Tulisan yang disusun seobjektif mungkin ini bukan berarti penulis mendukung komunisme, atau menyanjung sang penguasa yang liberal-kanan. Artikel disusun atas realita yang terjadi di konteks kekinian dengan sudut pandang refleksi sejarah. Ada sebuah pertanyaan penting yang bisa menyadarkan kita akan adanya prinsip-prinsip sosialisme disekeliling kita. Apakah unsur-unsur utama dari sosialisme dan Komunisme itu? Apakah hanya sekedar merebut kekuasaan negara dengan kekerasan macam revolusi merah di Uni Soviet? Atau revolusi tanpa pertumpahan darah macam Revolusi Bunga di Spanyo?. Tidak! Paham-paham itu masih mengatur hal-hal lain yang kebanyakan dilupakan orang. Paham-paham diatas menekankan akan kolektivisme yang sekarang sedang bergaung di Negera Cina.
Beginilah realita yang ada di masyarakat kita, suatu hari datanglah anda ke stasiun. Naik kereta ekonomi dan rasakan perbedaannya jika menaiki klas Bisnis dan Eksekutif. Di kereta klas nomor 3 itu, anda akan menemui bagaiman semua orang. Semua penumpang adalah sama, penumpang bebas mengambil tempat duduk dimana saja. Dimana letaknya? Perhatikanlah, penumpang yang kebagian tempat duduk ataupun tidak akan merasakan bahwa mereka pasrah dengan keadaan yang ada. Dengan pola, setiap ada penumpang yang turun, dapat dipastikan ada siklus perpindahan tempat duduk. Tempat duduk yang kosong akan segera diisi oleh yang lainnya. Pun Para pengasong bebas berkeliarandi setiap gerbong, entah cuma hanya penjual tahu semata, koran atau pengemis pun dibebaskan untuk masuk. Bahkan jika para pengasong dan pengemis itu juga ingin naik kereta sampai tujuannya. Semua adalah sama dan tak ada yang diistimewakan. Begitulah kolektivisme?
Bandingkan jika dengan klas Bisnis dan Eksekutif. Nomor tempat duduk telah ditentukan. Serta para pengasong dan pengemis dilarang masuk. Dulu untuk yang eksekutif ada service plus, mendapat makanan gratis. Serta untuk klas eksekutif terdapat pendingin udara. Jelas! Anda akan mendapat perbedaannya yang mencolok hanya dari melihat salahsatu contoh kecil saja. Apakah paham-paham kolektivisme di negara kita masih ada? Simpulannya saya serahkan kepada anda sendiri. Anda bisa melihat bahwa perkereta apiaan kita pun selain menganut paham-paham sosialisme-komunisme juga liberalisme-Kapitalis. Lihatlah, kolektivisme terjadi di hampir semua kereta klas ekonomi. Sementara prinsip-prinsip liberalisme-kapitalis terjadi di klas bisnis dan eksekutif. Lihatlah bahwa yang mempunyai modal (kapital) lebih pasti akan mendapat klas yang nyaman dan plus.
Kemudian, apa yang harus dilakukan. Kalau negara ingin menerapkan kolektivisme dalam dunia masyarakat kita. Khususnya perkereta apiaan. Maka, pemerintah harus menganggarkan subsidi untuk penyejahteraan kereta kelas ekonomi. Denga subsidi, maka kereta kelas ekonomi dapat lebih baik. Bisa diperbaiki kuota tempat duduk tiap gerbong dan ditambah pendingin udara. Dengan demikian masyarakat yang berpenghasilan rendah pun dapat menikmati “kebaikan” pemerintahnya. Bukankah dana APBN juga berasal dari rakyat. Dan impian inilah telah terjadi di negara Cina, negara suporpower tersebut banyak menggelontorkan subsidi untuk perbaikan militernya, subsidi pertanian hingga elektronik dan transportasinya. Makanya Anda jangan heran begitu Asean-Cina Free Trade Area dibuka, semua negara ketakutan akan murahnya harga barang-barang dari Cina. Mereka murah karena banyak subsidinya.
Demikianlah, paham-paham disekeliling kita pun sering tercampur aduk antara kolektivisme dan kapitalisme. Negara memang memerlukan kolektivisme untuk “mengelabuhi” rakyat agar tetap mendapat kebaikan pemerintah dengan klas ekonominya. Sementara negara juga tak ingin kehilangan simpati dari para “borjuasi” (klas menengah ke atas). Mereka dibutuhkan karena kemampuan dan uangnya. Maka pelayanan untuk mereka pun juga dilebihkan atas sebagian dari yang proleterat (klas bawah).
Hasil akhir artikel ini bukan merekomendasikan paham kolektivisme-Sosialisme-Komunisme untuk dihidupkan di Indonesia. Tengoklah Undang-Undang Dasar, disana kita punya gabungan antara dua paham di atas, Kita mempunyai paham Ekonomi Kerakyatan. Paham-paham kerakyatan yang oleh Ir. Soekarno itu diambil dan diolah dari kepribadian rakyat Indonesia. Dan paham itulah yang harusnya dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia. Bagaimana pola Ekonomi Kerakyatan tersebut? Salah satu pasal Undang-Undang mengatakan bahwa bumi, air dan kekayaan hidup yang digunakan untuk kepentingan rakyat banyak akan dikuasai negara. Serta digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, sudahkan negara menguasainya? Sudah tentunya. Kemudian apakah rakyat sudah sejahtera dengan fasilitas negara yang ada? Belum sama sekali. Kereta kelas Ekonomi telah menunjukkan bagaimana kesejahteraan itu belum terjadi? Kalau ingin kesejahteraan itu terjadi, pemerintah tentunya akan mengucurkan dananya untuk Kereta Klas Ekonomi guna kesejahteraan rakyat kelas bawah. Semoga Pemerintah Indonesia, Pejabat tinggi Kementerian Perhubungan dan Dirjen Perkeretaapian serta jajarannya dapat dengan sadar melakukan perubahan.
Sesungguhnya, kami ingin bahwa bangsa ini mengetahui bahwa Ia lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Semoga Indonesia ke depannya lebih sejahtera. Amin.

Email : subandi.rianto@gmail.com
Mobile : +62812 2779 7042
http://www.subandi-rianto.blogspot.com

Mendengarkan Shalawat Nabi dengan Nuansa yang Berbeda

Oleh : Subandi Rianto
*Student of History Department of Airlangga University-Indonesia.


Shalawat nabi merupakan sesuatu yang sakral dalam ritualisme ibadah umat islam. Biasanya shalawat lebih sering dibacakan secara bersama-sama di masjid dalam rangka pengajian, yasiinan, istighosah atau semacamnya. Nuansa yang kita tanggap akan kurang lebih sama. Yaitu, merasakan kegetaran hati yang sama disaat shalawat secara serentak dibaca. Tapi, anda akan merasakan hal yang lebih hebat lagi manakala shalawat nabi dibacakan secara berbeda. Bagaimana maksudnya?
Saya pernah mengalami sedikitnya tiga kali nuansa yang berbeda dalam mendengarkan shalawat nabi. Tentu saja bukan di masjid atau di mushala-mushala. Nuansa itu, pertama saya tangkap ketika paruh terakhir tahun 2008. Beberapa hari menjelang Ramadhan tiba. Saat sedang duduk di mikrolet di Jakarta yang menuju ke arah Blok M. Bersama beberapa teman dan ”ustadz”, kami duduk di bagian depan. Hingga kemudian naiklah tiga orang pengamen yang penampilannya beda dari yang lainnya. Dua orang mengenakan kopiah, sementara yang satu mengenakan surban. Sebuah gendang dan ecrekan mereka pegang. Beberapa menit nada awal dinyanyikan. Hemm... ternyata shalawat nabi. Bisa anda bayangkan, disebuah bus kota (mikrolet) di Kota Jakarta yang sedang kondisi penuh, pengap dan sesak. Plus macet lagi. Setetes embun dinyanyikan diantara kami. Hati saya mak cess mendengarnya, terasa ada yang berbeda suasana siang itu, sebuah rindu terbit dari hati terdalam saya. Rindu kepada Kanjeng Nabi lewat nyanyian shalawatnya tadi.
Akhir tahun 2009, ketika saya hendak balik ke Surabaya dari Yogyakarta untuk kuliah. Kereta Ekonomi Sri Tanjung menjadi pilihan transportasi. Selain hemat biaya juga bisa lebih merakyat. Ketika itu, kereta sudah berangkat dari Lempuyangan-Yogyakarta sejak pagi sekali, pukul 07:00. Menjelang Kota Sragen dan Solo. Para penumpang semakin menjejali angkutan rakyat tersebut. Selepas Kota Solo, serombongan pengamen. Berjumlah tiga orang juga, mengenakan pakaian pas-pasan. Seorang membawa gitar, sisanya membawa ecrek-ecrek dan sebuah gelas air minuman. Tahukah apa yang mereka nyanyikan? Ya, shalawat nabi lagi. Waktu itu saya hampir tidak tahu kalau ada pengamen yang naik kereta, kalau mereka tidak menyanyikan shalawat nabi. Bagi saya di sebuah kereta ekonomi sudah ada puluhan pengamen yang nyanyi dan kurang lebih nada maupun liriknya sama saja. Hingga membuat saya acuh tak acuh terhadap yang namanya pengamen. Tapi, ini adalah nuansa yang berbeda. Nuansa yang dibawakan beberapa orang pengamen. Saya sempat menoleh mencari asal suara shalawat tersebut, karena saya merasa ada nuansa yang begitu agung. Nuansa agung di tengah-tengah derit kereta ekonomi rakyat yang penuh dengan kesengsaraan. Panas, pengap, bising dan sesak. Tetes demi tetes membuat saya hampir saja menangis. Maklum suara mereka seperti mengingatkan bahwa sebentar lagi dunia ini mendekati kiamat. Seakan-akan langit di atas sana sudah terlalu tua.
Awal tahun 2010, ketika sehabis mengikuti acara bedah buku di Universitas Kristen Petra-Sidoarjo. Saya harus segera kembali ke Surabaya sebelum hari gelap agar tidak sampai terlalu malam. Berawal dari menumpang angkot jurusan Terminal Joyoboyo, saya harus bersabar menunggu beberapa jam. Maklum, saat itu sedang ada razia gabungan Dinas Perhubungan terhadap angkot-angkot di sekitar Surabaya. Jadi, akhirnya saya pun baru sampai di Terminal Joyoboyo-Surabaya mendekati pukul 17:30. Hampir mendekati azan maghrib.
Akan tetapi, ditempat yang suasana sama pula. Seorang pengamen remaja membawa gitar hendak menyanyi. Awalnya saya pikir Ia akan menyanyi seperti pengamen-pengamen lainnya. Lirik dan nadanya sama. Dan angkot yang saya tumpangi sudah puluhan kali didatangi pengamen yang jenjang usianya beragam tapi nada dan liriknya sama. Bayangkan betapa bosannya penumpang seisi angkot tersebut. Tapi pengamen remaja tadi tidak, agaknya ia lebih kreatif. Nyanyian shalawat akhirnya mengalun pelan diiringi petikan gitar. Cess, saya merasakan ada aura yang berbeda menjelang azan maghrib dikumandangkan. Beberapa detik sebelum azan, nyanyian shalawat dari pengamen cilik tadi mampu melunakkan hati kami setelah lelah seharian beraktivitas. Tampaknya dari sekian puluh pengamen yang ”nongkrong” di angkot yang saya tumpangi. Hanya dia yang mendapat uluran uang beberapa ribu dari penumpang. (Tanpa bermaksud riya akhirnya saya juga ikut mengulurkan uang, terkesan akan nyanyian shalawatnya).
Begitulah, tampaknya Kanjeng Nabi akan selalu hadir disetiap sisi kehidupan kita. Hadir melalui shalawatnya untuk menjadi pengingat agar kita senantiasa selalu dekat dengan-Nya. Serta seperti yang kita harapkan selalu, semoga di akhirat nanti kita bisa bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan mendapatkan syafaatnya. Amien.

Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
Wa ala alihi wasohbihi wassalam.


Email : subandi.rianto@gmail.com
Mobile : +6281227797042
Web : http://www.subandi-rianto.blogspot.com

Kamis, 15 April 2010

AIDS, Pendidikan Seks dan Norma Agama

AIDS di Indonesia saat ini sudah dipandang sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beragam cara telah ditempuh untuk mengendalikannya, mulai dari sosialisasi penggunaan kondom, konser amal, seminar-seminar pendidikan seks dll. Namun, semua seolah-olah hanya gerakan sporadis yang belum menemukan ruhnya. Tingkat seks bebas yang dibarengi AIDS masih tetap saja tinggi. Bahkan hingga minggu-minggu ini, tingkat penderita seks mulai bergeser dari usia pemuda menuju usia remaja. Budaya seks bebas ternyata tidak mengenal umur, bahkan anak-anak usia produktif pun terancam masa depannya.
Berangkat dari penyakit satu ini, penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sikap pemerintah dan lembaga swadaya hanya sebatas tingkat kuratif saja. Tingkat penyembuhan dan penanganan korban dengan cara melakukan sosialisasi agar penderita tidak dikucilkan dari aktivitas lingkungan masyarakat. Sementara, untuk usaha preventifnya malah jauh dari panggang. Usaha-usaha preventif hanya sebatas menyebar brosur, mengadakan konser amal (yang tentunya hedon) atau malah menyebarkan kondom. Sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan jalurnya.
Bila usaha preventuf agar penyakit HIV-AIDS tidak meledak menjadi Kejadian Luar Biasa, kenapa yang dibagikan adalah kondom? Bukan obat-obatan yang bisa mencegah adanya HIV-AIDS. Saya rasa dengan membagi-bagikan kondom pada tempat yang umum malah akan menambah para penikmat seks bebas. Bayangkan, bila kondom-kondom itu jatuh ke tangan anak-anak muda yang notabene masih labil emosinya. Dengan rasa ingin tahunya yang begitu tinggi. Bukankah mereka juga akan mencoba-coba yang namanya seks bebas?. Lantas, yang terjadi bukan mencegah adanya penderita baru, tapi malah menambahnya.
Kemudian, langkah apa yang tepat untuk menanggulanginya? Jawabannya terletak pada pendidikan seks sejak usia dini (sex education). Namun, yang menjadi catatan adalah pendidikan seks dalam konteks ini tidak dilakukan begitu saja tanpa adanya pegangan yang jelas. Pendidikan seks akan menemukan ruhnya apabila kita satukan dengan norma-norma agama. Agama akan secara jelas mengatur bagaimana tatacara pendidikan dalam seks tersebut secara gamblang dan terperinci. Jadinya, dengan agamalah pendidikan seks bukan sebatas mainan dan bahan lelucon, yang biasanya sangat dinikmati oleh penderita seks bebas.
Langkah nyata pemerintah adalah membenahi pendidikan seks yang ada sekarang. Jangan sampai bola liar bernama sex education ini diumbar kesana-kemari tanpa ada hulu yang jelas. Dalam konteks umum, pendidikan seks hanya dipandang bagaimana cara-cara berhubungan seksual yang bersih dari ancaman virus HIV-AIDS, konteks tersebut biasanya mengacuhkan apakah hubungan seks tersebut legal atau ilegal. Bila pendidikan seks telah disatukan dengan norma-norma agama, maka akan terlihat jelas warnanya. Hitam atau putih akan tampak akibatnya. Agama memberikan panduan bagaimana tatacara berhubungan seksual yang aman dari ancaman virus dengan landasan utama adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan, maka setiap hubungan seksual yang dilakukan tergolong legal. Dan pelakunya akan terikat dengan aturan agama jika Ia melakukan hubungan seks diluar pernikahannya tadi.
Demikian, dengan adanya seks yang sesuai norma agama. Maka wujud penyakit HIV-AIDS akan nyata terlihat segmentasinya. Karena sebagian besar penderita HIV-AIDS adalah orang-orang yang melakukan hubungan seks ilegal, bahkan jika sudah menikah pun pastinya sebelumnya pernah melakukan seks bebas. Belum lagi dengan para remaja kita yang sudah familiar dengan yang namanya pacaran. Berlanjut dari hubungan biasa dan kemudian berakhir dengan hubungan seks bebas yang memang rentan akan penyakit mematikan ini.
Alangkah lebih baiknya lagi, jika para LSM-LSM tidak mengkampanyekan bahaya seks bebas dengan membagi-bagikan kondom di wilayah umum. Manakala kondom tersebut dibagikan di ranah lokalisasi silakan saja, karena hak tersebut ada dalam pemerintah guna menangani para PSK yang terlanjur jatuh ke dalam penyakit tersebut. Dengan membagi-bagikan kondom secara terbuka, maka jangan kaget jika penderita AIDS bukannya turun tapi terus melaju hingga tingkat yang mengkhawatirkan.
Upaya pemerintah pun, baik pemerintah pusat maupun daerah. Hendaknya bekerja lebih intensif sesuai dengan domain mereka. Jika pemerintah pusat bisa memasukkan kurikulum pendidikan seks ada dalam pelajaran agama. Kenapa tidak? Bukannya seks dalam agama bisa diperjelas secara hitam dan putihnya. Untuk pemerintah daerah sendiri, akan lebihnya mengurangi jumlah kondom yang bertebaran guna menjaga jatuhnya kembali korban akan iming-iming mainan sesaat ini. Bahkan bila perlu, kondom hanya akan diperjualbelikan untuk para suami istri yang sah, guna meredam penggunaan kondom yang tidak pada tempatnya.
Terakhir, pemerintah daerah dapat lebih menekan pusat-pusat lokalisasi agar mati secara berangsur-angsur. Contoh kasus adalah penanganan pemkot Surabaya dalam mengawal lokalisasi Kremil menuju kematian. Beragam cara dilakukan agar Kremil berubah status dan pusat lokalisasi bisa dimatikan. Secara preventif, memang para pengguana lokalisasi turun drastis akibat oembatasan penambahan PSK baru. Secara kuratif pun, para ”mantan” PSK tersebut juga dibekali ilmu-ilmu kewirausahaan sebagai bekal hidup selanjutnya. Seperti inilah, langkah konkret pemerintah yang patut dicontoh pemerintah daerah lainnya bahkan LSM-LSM sekalipun yang giat dan fokus akan isu-isu HIV-AIDS.